Saturday, July 28, 2007

JALAN BELAKANG
Randy memakai jaket hitamnya dan berjalan keluar dari rumahnya. Ia berjalan menuju garasi, ke arah salah satu dari tujuh sepeda motor yang ada di sana. Ia ambil helm yang bertengger di stang motor tersebut, diambilnya kunci motor dari saku jaketnya lalu menyalakan mesin motornya. Kemudian ia gas, dan tak lama kemudian… keluar dengan kecepatan tinggi. Satpam yang menjaga rumahnya sempat kaget juga. Malahan, ia sempat berniat untuk melontarkan makian, namun jika ingat siapa dirinya, nyalinya langsung ciut. Maklum, cuma satpam di rumahnya Randy, gitu, lho!
Randy sendiri bukannya tanpa sebab mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi begitu. Dia dikejar waktu atau lebih sering dikatakan, buru-buru. Ia harus buru-buru karena terancam telat menjemput gadis yang baru seminggu ini menjalin hubungan dengannya, yang sedang les dan sebentar lagi akan pulang. Randy ketiduran sih, makanya tidak lihat waktu. Alhasil, inilah hasil yang dipetik.
Dan ketika di jalan raya—tepatnya saat di perhentian lampu merah--, Randy sempat was-was juga buat kembali ngebut. Jangan-jangan ada polisi lagi, ujarnya dalam hati. Ia palingkan wajahnya ke segala arah. Wah, kayaknya lagi off nih, polisinya. Gak apa Pak, tidur saja terus. Biar saya bisa ngebut dan tepat waktu tiba di sana. Dan dengan penuh keyakinan, Randy makin menggas motornya dan tetap berjalan dengan kecepatan tinggi.
Kemudian Randy menikung di satu persimpangan. Lalu ketika terlihat olehnya sebuah papan bertuliskan “MBC- The Best Course” , ia memperlambat laju motornya dan berbelok masuk ke dalam. Dan tepat di depan sebuah bangunan besar yang merupakan tempat bernama MBC itu, ia berhenti. Ia edarkan pandangannya ke dalam gedung tersebut. Kenapa sepi, sih? Apa sudah pulang semua? Tanyanya dalam hati. Karena penasaran ia putuskan untuk masuk ke dalam.
Namun langkahnya terhenti, ketika sesuatu di dalam saku kanannya bergetar dan berbunyi. Handphonenya. Ia ambil benda tersebut lalu ia lihat layarnya untuk mengetahui siapa yang menelepon dirinya. Setelah itu ia tersenyum, dan ia tekan satu tombol untuk menjawab panggilan tersebut. “Iya, Ra!”
“Ng… Ran, aku mau kasih tahu kamu, kalau kamu tidak perlu menjemputku pulang les sekarang.” Balas suara di seberang. Seorang gadis.
“Kenapa Ra? Padahal aku sudah sampai di tempat lesmu sekarang.” Jelas Randy.
“Hah? Kamu sudah di sana?” jerit gadis itu. “Aduuuh… kamu ini bagaimana sih, aku itu gak les sekarang.”
“Apa? Kok bisa? Terus kenapa kamu gak kasih tahu aku sebelumnya?”
“Tadi jam setengah tiga aku sudah menelepon kamu buat kasih tahu hal ini. Tapi kamu tidak menjawabnya. Kamu ketiduran lagi, ya? Makanya jadi cowok jangan malas. Ngorok saja kerjanya.” Gerutu gadis itu. Randy hanya bisa tersenyum kecut mendengar hal itu.
“Jadi sekarang bagaimana?” tanya Randy pasrah.
“Kamu pulang saja. Oh ya, aku gak les bukan karena malas lho, tapi karena gak enak badan. Kamu jangan pikir yang enggak – enggak dulu. Sudah ya.”
KLIK!
Sambungan terputus. Gadis yang sedari tadi mengomel itu telah memutuskan panggilan. Randy menatap handphonenya dengan tatapan sedih, namun sedetik kemudian mengangkat bahu dan berjalan ke arah motornya. Ia nyalakan mesin motornya, lalu pulang ke rumahnya.

***
Randy akhirnya sampai juga di rumahnya. Setelah memarkirkan motornya di garasi, ia langsung masuk ke dalam rumahnya dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Ketika Randy berjalan hampir melewati sebuah kamar, samar-samar terdengar ratapan seorang wanita dari dalam. Randy berhenti sebentar. Ia dekatkan telinganya ke pintu agar semakin jelas mendengar suara samar-samar itu. Beberapa menit setelah itu, air muka Randy berubah. Dahinya yang tadi berkernyit penasaran, kini menaik ke atas. Ia jauhkan telinganya dari pintu itu kemudian berjalan lagi dan dengan ekspresi datar, seperti menganggap kalau hal yang baru saja ia ketahui itu adalah biasa.
Ya, ratapan tadi berasal dari ibunya. Ibunya memang seringkali meratap diam-diam di dalam kamar tersebut. Padahal kamar tersebut bukanlah kamar yang biasa ia pakai untuk istirahat. Kamar tersebut hanya digunakannya untuk meratap. Ya, meratapi suaminya yang merupakan ayah Randy, yang jarang sekali pulang ke rumah. Ayah Randy selalu beralasan ada urusan kantor, padahal tidaklah demikian. Ayah Randy memang pergi bersama rekan-rekan bisnisnya, tapi bukan untuk berdiskusi masalah pekerjaan, melainkan untuk bersenang-senang. Bersenang-senang di hotel atau di diskotik dengan seorang penghibur. Randy dan ibunya telah mengetahui hal itu dari sepupu Randy, yang pernah memergoki perbuatan tak terpuji ayah Randy secara tidak sengaja ketika tengah pergi ke diskotik dengan salah seorang temannya. Sebenarnya, Randy ingin sekali melabrak ayahnya, namun ibunya melarangnya. Beliau takut rumah tangganya akan rusak jika masalah tersebut diributkan. Alhasil, ibunya serta Randy hanya bisa menahan rasa sakit dalam hati, tanpa bisa mengungkapkannya.
Dan Randy hanya bisa mengungkapkan kekesalannya dengan bersikap cuek terhadap segala urusan ayahnya. Buat apa pusingin lelaki seperti dia? Toh, aku juga punya hidup. Yang penting jangan sampai aku seperti dia nanti, begitulah prinsipnya sekarang ini. Makanya, ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk setia dalam berhubungan, sekalipun itu masih pacaran. Apalagi bila pacarnya secantik gadis yang tengah menjadi kekasihnya sekarang ini, yaitu Tiara. Ya, Tiara, gadis cantik yang—meskipun agak judes—amat menarik dan misterius bagi tiap laki-laki di sekolahnya. Sudah berapa banyak lelaki yang menyatakan cinta padanya, namun ditolak oleh Tiara. Dan hanyalah Randy yang berhasil mendapatkan hati Tiara. Randy sendiri sampai sekarang tidak tahu mengapa Tiara mau menerimanya. Dia sendiri juga tidak peduli soal hal itu. Yang penting baginya hanyalah kebanggaan punya pacar yang cantik yang dicintai olehnya serta mencintainya juga.
Di kamar, Randy memandangi foto gadisnya itu. Ah... Tiara, betapa berharganya kau untukku. Doakan aku agar tetap setia padamu, tidak seperti ayahku yang binal itu. Yang bermain dengan perempuan lain di jalan belakang. Tidak tahu malu. Semoga aku tidak demikian.
Tiba-tiba saja muncul dalam benak Randy untuk mengajak Tiara berkencan untuk menghilangkan penat dalam hatinya. Iya, berkencan ke sebuah cafe yang romantis pasti akan bisa menghilangkan penat sekaligus menjadi salah satu kenangan manis bagi mereka berdua. Eh, tapi tadi Tiara bilang dia tidak enak badan? Apa dia mau diajak pergi ke cafe yang dingin? Ah, pasti dia mau. Randy yakin, sebab Tiara pernah bilang dia sangat suka pergi ke cafe untuk dengerin musik di sana. Lagipula, inikan kencan pertama mereka. Ya, pasti Tiara tak akan bisa menolak.
Randy mengambil handphonenya dan menekan nomor handphone Tiara. Betul-betul pacar yang baik... nomor handphone pacar dihapal mati. Tapi memang seharusnya begitu, ya?
Agak lama ditunggu Randy jawaban dari Tiara. Untung saja handphone Tiara punya ring backtone, jadi Randy tidak bosan menunggu jawaban darinya. Anggap aja lagi dengerin radio atau kaset. Coba kalau Tiara gak punya ring backtone, wah... dijamin Randy akan bolak-bolik memutuskan panggilan lalu meneleponnya lagi. Dan akhirnya, penantian Randy tidak sia-sia. Tiara menjawab telepon darinya.
“Halo,” sapa suara di sana.
“Tiara, kita jalan yuk.” Ajak Randy tanpa basa-basi terlebih dulu.
“Ke mana?” tanya Tiara ketus. Kedengarannya dia tidak begitu antusias mendengar ajakan dari pacarnya itu.
“Ke cafe. Aku tahu cafe yang romantis dan cocok buat kencan. Mau, ya?”
“Ng... gimana ya, Ndy.” Tiara berujar manja. “Aku bisa. Aku tadi sudah bilang kan, sama kamu kalau aku tidak enak badan. Jadi maaf ya, kapan-kapan saja.” Setelah berkata demikian, Tiara langsung memutuskan sambungan tanpa mengucapkan salam jumpa dan tanpa membiarkan Randy mengucapkan sepatah kata pun. Randy hanya bisa menghela nafas pendek. Hhh... Tiara- Tiara. Kenapa kamu begitu cuek?
Akhirnya, Randy memutuskan menelantangkan tubuhnya di atas kasurnya dan membenamkan kepalanya di balik bantal. Mungkin hanya itulah cara untuk menghilangkan penatnya untuk saat ini. Dia sendiri malas jika hanya pergi seorang diri ke sana.
Tiba-tiba, handphonenya yang ia letakkan di sebuah meja di samping kasurnya berbunyi. Agak lama ia biarkan berbunyi, berharap orang yang meneleponnya itu langsung memutuskan panggilannya. Randy sedang malas bicara sekarang. Namun hal itu diurungkannya, karena handphone tersebut terus berbunyi. Penyabar juga rupanya orang itu.
Tanpa melihat ke layar handphonenya, Randy langsung menekan salah satu tombol dan berkata,”Siapa?”
“Ini aku, Sony.” Balas suara di sana.
“Siapa?” tanya Randy lagi. Ia tidak bisa mendengar jelas jawaban orang itu. Ada suara ribut sepertinya di dekat orang yang menelepon dirinya.
“SONY, Ran!” seru Sony. “SONY SEPUPUMU.”
“Oh…iya-iya.” Randy mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ada apaan?”
“Aku lihat papa kamu di sini. Di diskotik.” Ujar Sony keras, supaya Randy bisa mendengar ucapannya.
“Apa?” seru Randy. “Di diskotik mana? Dengan siapa?”
“Di diskotik dekat Plasa M. Dia sendirian, tapi kayaknya lagi menunggu seseorang. Soalnya aku dengar dari pelayan di sini, dia pesan meja untuk empat orang sama kamar kosong.”
“Hah? Kamar kosong? Buat apaan?” “Kamu kira aku tahu? Sudah deh, pokoknya kamu cepat ke sini. Biar kamu lihat sendiri nanti.”
KLIK!
Sambungan telah diputus. Randy langsung saja membuka pintu kamarnya dengan kasar dan meninggalkannya dalam keadaan terbuka. Kali ini, ayahnya tak akan ia biarkan lolos. Ia akan melabrak ayahnya, jika yang ditunggu olehnya adalah wanita yang tidak pernah terikat dengannya.
***
Akhirnya, Randy sampai di tempat tujuan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung yang bernama diskotik apalah itu. Bunyi musik yang keras langsung terdengar meskipun ia baru saja melangkah di pintu masuk. Ia celingak – celinguk memandang sekeliling, mencari di mana Sony. Ia melihat Sony tengah asyik duduk di bar dan tengah bercakap-cakap dengan salah seorang bartender di sana. Ia berjalan ke arah Sony.
“Hei.” Sapanya sambil menepuk pundak sepupunya itu. “Dimana si tua itu?”
“Eh, Randy. Dia di… sana tuh,” Sony mengarahkan pandangan Randy ke sebuah meja yang terletak paling sudut. “Dia masih sendiri. Kamu sabar nunggu dia?”
“Sabar banget. Yang penting, aku bisa meyakinkan mama aku untuk cerai sama si tua itu. Aku pusing dengar mamaku nangis terus.” Ujar Randy. Sony hanya mengangguk. 15 menit mereka habiskan dengan bercakap-cakap untuk mengawasi ayah Randy. Hingga akhirnya…
“Ran, kayaknya orang yang ditunggu papa kamu sudah datang.” Sony memberitahu Randy. Randy mengarahkan pandangannya ke meja tempat ayahnya duduk. Terlihat olehnya seorang pria berjas diiringi oleh dua orang perempuan berpakaian terbuka. Yang satu berjalan disamping kanan pria berjas itu, memakai kemben berwarna merah dan rok super mini yang hanya menutupi seperempat bagian atas kakinya yang mulus. Rambutnya diikat satu. Sedangkan yang satu lagi, berjalan di samping kiri pria itu, memakai baju bertali satu warna biru, menampakkan setengah bagian perutnya, dengan celana mini ketat berwarna hitam. Rambut panjangnya yang hitam ia uraikan begitu saja.
Ketika Randy melihat gadis yang berjalan di sebelah kiri pria itu, ia seakan mengenalnya. Padahal ia tidak pernah pergi ke tempat ini sebelumnya. Tapi kenapa ia merasa begitu akrab, terutama jika ia memperhatikan rambut panjang gadis itu. Aduh… jangan-jangan aku tertarik lagi sama dia? Oh tidak… jangan sampai aku seperti ayahku yang sialan itu.
“Ran, gila! Tuh cewek yang pakai celana langsung ngelendot di pangkuan papa kamu. Eh, tapi… dia kan cewek yang waktu itu aku lihat sama ayah kamu.” Sony menjelaskan. Randy makin membesarkan penglihatannya. Sangat sulit melihat wajah gadis itu di tengah lampu diskotik yang cahayanya samar itu. Ia putuskan untuk maju satu meter lagi untuk memperjelas. Dan…matanya makin membelalak. Mulutnya ternganga. Gadis yang bersama ayahnya itu ternyata… TIARA.
“Woi, Ran, kenapa?” Sony mengguncang-guncangkan tubuh sepupunya yang tiba-tiba mematung. Segera Randy tersadar. Matanya berair. Simbol kemarahan sekaligus kesedihannya. Kenapa… kenapa jadi begini?
Randy dengan langkah agak gontai berjalan ke arah ayahnya. Kedua tangannya mengepal, matanya semakin berair, namun tidak jatuh, hingga sedikit mengaburkan pandangan. Randy sendiri ogah menghapusnya, karena jika ia hapus, ia takut kemarahannya akan teredam dan ia takkan tega melabrak ayah serta gadis yang ia cintai.
Ketika telah berada di sana, tanpa basa-basi Randy langsung menunjang meja tersebut hingga terjatuh. Ayah Randy, Tiara, serta dua orang lainnya berdiri karena kaget. Ayah Randy memalingkan wajah ke arah orang yang melakukan hal itu, berniat memakinya. Namun… reaksinya berubah. Ia terbelalak, kaget akan keberadaan Randy. Begitu juga Tiara. Sedang dua orang yang lain, tampaknya telah pergi meninggalkan tempat tersebut karena diajak Sony pergi entah ke mana. Dan kini, Randy, Tiara, serta ayahnya tengah menjadi tontonan orang-orang yang ada di sana.
“R…Randy…”ujar ayahnya tergagap. “Seda…ng, sedang apa kamu di sini?”
Randy tersenyum sinis. “Apa tidak kebalik? Harusnya Randy yang tanya ke papa, ngapain di sini? Bersama dia lagi” seru Randy seraya menunjuk Tiara. Tiara hanya bisa menunduk.
“Papa,… Papa bisa menjelaskan semuanya.”
“Diaaaaam!” seru Randy. “Papa tidak usah lagi bohong. Randy sudah tahu semuanya, tahu jauuuh sebelum Randy melihat semua ini. Bahkan Mama sudah tahu. Kenapa? Heran darimana kami bisa tahu? Untuk hal itu, Randy tidak bisa kasih tahu papa. Tapi yang Randy dan mama gak tahu, siapa perempuan yang sudah bikin papa berpaling. Dan ternyata…” Randy memalingkan wajahnya ke Tiara. “Perempuan binal ini. Perempuan binal yang juga anak papa cintai. Perempuan yang juga saat ini adalah pacar Randy. Papa menjalin hubungan lewat jalan belakang dengan dia!” Jerit Randy. Airmata mengalir turun dari matanya. Tak kuat ia menahan kekesalannya yangsudah tidak terbendung lagi.
Mendengar hal itu, papa Randy tak kuasa menunjukkan wajah kagetnya. “Randy, papa… papa betul-betul tidak tahu. Jika papa tahu, papa tidak akan mau dengannya. Papa…”
“Cukup.” Seru Randy. “Sekarang… aku kasih tahu ke papa , aku dan mama tidak akan memaafkan papa. Mama pasti akan menceraikan papa. Ya, Randy jamin itu. Dan kamu, Tiara… jangan harap hubungan kita tetap berlanjut. Kamu gak pantas untuk aku ataupun semua pria di dunia ini, kecuali si brengsek ini.” Randy menunjuk ayahnya. Ia tatap dua orang itu bergantian dengan tajam, dengan mata yang masih basah dan wajah yang kian memerah. Tak lama kemudian, ia balikkan badan dan meninggalkan mereka berdua. Namun, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Ia kembali berjalan ke arah mereka—tepatnya ke arah Tiara yang masih saja menunduk—lalu bertanya,”Sebelumnya aku mau bertanya sama kamu, dan aku harap kamu jawab dengan sejujur-jujurnya. Kenapa kamu menerima aku untuk jadi pacar kamu? Padahal jika dibandingkan dengan lelaki lain yang kamu tolak, aku gak ada apa-apanya. Kenapa?” Dengan suara lirih, Tiara menjawab,”Aku… hanya ingin membuat salah satu sainganku cemburu.”
“Siapa?”
“Bunga. Dia suka sama kamu”
“Oh…dia. Cantik juga, boleh deh, aku pertimbangin. Besok aku bakalan menyatakan perasaanku padanya pasti.” Kata Randy dengan cueknya.
“Tapi kamu perlu tahu satu hal, Ran. Aku melakukan hal ini untuk membiayai hidupku.” Jelas Tiara. Namun Randy tidak peduli. Hatinya terlanjur sakit. Dengan santai, ia balikkan badannya dan pergi meninggalkan diskotik itu, diiringi tatapan orang-orang yang masih di sana, termasuk Tiara dan Ayah Randy.
Di luar, di bawah terangnya rembulan dan temaramnya gemintang, Randy menjerit sekeras-kerasnya, dan meratapi apa yang terjadi padanya.

Monday, July 2, 2007

Lilac

Gak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa mengalahkan keunikan kami.
Gak satu pun…
Sekalipun Eiffel, Pissa, atau hal lain…
Gak ada yang bisa…
***
Lilac menatap kedua sobatnya sedari kecil dengan mata berkaca dan bibir bergetar menahan tangis. Tubuhnya yang terbaring di atas tempat tidur membuatnya tidak leluasa bergerak, setidaknya mengganti posisinya untuk terduduk. Rose dan Igo—kedua sobatnya—juga tak kalah hebatnya dengan Lilac menahan diri untuk tidak menangis. Bahkan Rose sampai menggigit bibirnya keras-keras supaya tidak menangis. Mereka berdua mengenggam masing-masing satu tangan Lilac. Perlahan, Lilac buka suara, “Kalian tahu gak kalau rose dicampur indigo itu bakal jadi warna apa?”
Baik Rose maupun Igo hanya bisa terdiam. Bahkan Igo kini menunduk, tak sanggup untuk menatap wajah pucat Lilac yang mencoba melukiskan senyum untuk dirinya dan Rose. Rose juga tak kuasa lagi menahan laju air yang mengalir dari kedua bola matanya menyaksikan senyum tulus Lilac. Ia makin erat menggenggam tangan Lilac.
“Hey, kenapa diam aja?” tanya Lilac. “Jawab dong! Ayo…”
“Warnanya… lilac.” Jawab Igo. Lilac tersenyum ke arah Igo. “Makasih… kamu benar.” Lalu ia berpaling ke arah Rose dan bertanya, “Kamu tahu enggak apa yang membuat kita unik dari seluruh hal di dunia ini?”
Rose, dengan sebelah tangannya yang hampa, menghapus airmatanya. Dan dengan terisak menjawab, “Yang… yang… membuat kita u-nik, karena kita berwarna… aku pink pucat, Igo biru, dan kamu… ungu. Ungu yang muda… banget!”
Lilac kembali tersenyum. Matanya menatap Rose dengan lembut dan berkata, “Benar, tapi ada yang perlu diganti. Aku… bukan ungu muda. Tapi ungu pucat. Lemah, kayak lavender…”
“Sori, Lil!”
“Gak usah minta maaf. Gak ada yang perlu dimaafkan. Gak ada yang salah.”Lilac menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. “Tapi, aku gak bakal maafin kalian kalau kalian gak mau menghasilkan satu lilac baru. Lilac yang benar-benar segar, yang muda. Dan aku harap itu bakal kalian lakukan suatu saat untuk aku. Kalian… mau kan?”
Igo makin menundukkan kepalanya. Sementara Rose semakin menjulurkan isakan yang sama sekali tidak bisa ia hentikan. Keduanya sama sekali tidak mau menolak atau menerima permintaan gadis di hadapan mereka itu. Hal itu membuat Lilac harus sekali lagi bertanya. Dan kali ini dengan intonasi yang lebih tegas. Hingga airmata yang sedari tadi ia bendung, tak kuasa terjun dengan bebas dari kedua bola matanya. “Kalian mau kan, bikin satu lilac baru? Untuk aku?”
Igo dan Rose, tanpa mereka sadari, secara bersamaan menggenggam erat tangan Lilac. Dan tanpa direncanakan juga, keduanya secara bersamaan berkata, “Iya.” Keduanya saling bertatapan mengetahui hal tersebut, namun tak berapa lama kemudian mereka memalingkan wajah. Lilac tersenyum melihatnya.
“Kalian berdua memang selalu bisa bikin aku tersenyum dalam keadaan apapun. Makasih… Igo. Makasih Rose.” Lilac menghela nafas panjang dan melanjutkan, “Sekarang, aku mau bobo siang. Kalian temenin aku, ya. Tetap pegang tangan aku, biar aku ngerasa nyaman. Oke?”
Dan perlahan, Lilac menutup mata. Dan sesuai permintaannya tadi, Igo dan Rose memegang tangan Rose dengan erat. Sedetik, dua detik, pegangan Lilac masih terasa kencang. Hingga kemudian, pegangan itu mengendur seiring bergantinya waktu. Tanpa mereka sadari bahwa saat itu merupakan saat terakhir mereka bersama. Saat terakhir Igo dan Rose bisa menggenggam tangan Lilac…
***
“Aku suka sama Igo.” Ujar Lilac sambil tersenyum.
Bagi Lilac, mungkin itu merupakan hal teristimewa yang pernah terjadi dalam hidupnya. Terbukti dengan binar-binar yang memenuhi kedua bola matanya itu. Namun, kabar itu bagaikan sebilah tombak yang menusuk hati Rose. Berita tersebut sungguh menyakitkannya.
“Aku gak tahu sejak kapan aku suka sama dia. Tapi yang jelas, aku itu kayak kehilangan kendali atas diri aku. Aku gak bisa tahan kalau gak ngelihat dia satu hari aja, aku gak bisa nahan diri untuk gak senyum sendiri, aku gak bisa… semuanya lah! Pokoknya kayak kehilangan sekrup gitu. Perasaan aku jadi lepas, dan mengarah ke dia.” Jelas Lilac panjang lebar. Rose hanya diam tanpa memberikan tanggapan sedikitpun. Lilac menatap Rose dengan kening berkerut. Sesaat kemudian, matanya menunjukkan adanya suatu hal yang sangat ingin ia ketahui. Dengan segera, ia bertanya, “Rose, kamu… sukaa… Igo juga ya?” Rose terbelalak. Matanya langsung liar berpaling ke arah lain, dengan bibir yang mendadak berubah pucat, bergetar dan sulit dihentikan. Dengan sedikit paksaan ia tersenyum dan menjawab, “Gak… gak kok. Gak mungkinlah aku suka sama Indigo nan sok itu. Kerjanya cuman nyari masalah doang, gak pernah mau ngalah lagi sama aku. Udah gitu sering banget lagi bilang warna pink itu jelek. Emangnya warna biru udah bagus banget apa?”. Rose langsung mengatupkan bibir. Ia sadar sedari ia berbicara suaranya terdengar bergetar. Namun sepertinya Lilac tidak menyadarinya. Ia malah terus berucap, “Gak juga, kok! Lagian kita ini bisa berteman karena kita ini berwarna. Kamu pink kayak nama kamu Rose, Igo biru, sama kayak namanya Indigo, dan aku Lilac, gadis ungu yang mudaaaa banget! Iya, kan?”
“Dan rose kalau dicampur indigo jadi Lilac, iya kan?” sambung Rose dengan gugup. Lilac tersenyum dan mengangguk.
“Tapi…” tiba-tiba raut wajah Lilac berubah. Bibirnya kini berubah pucat. Matanya mengarah ke bawah dan kemudian berbicara dengan penuh keraguan. “… gimana perasaan dia ke aku?”
Rose tersenyum. Kali ini bukan senyum jengah yang beberapa waktu tadi ia perlihatkan. Sambil mengelus pundak Lilac, ia berkata, “Udahlah, jangan langsung patah semangat gitu. Lagian kamu gak bakalan tahu perasaan dia ke kamu kalau kamu belum ungkapin.”
“Memang sih! Ah, iya! Ungkapin. Aku bakal ungkapin perasaan aku ini ke dia. Menurut kamu gimana?” tanya Lilac dengan mata berbinar. Kontras dengan ekspresi sebelumnya.
“Itu terserah kamu…”
“Oke, kalau gitu aku bakal nyoba. Tapi Rose, kamu jangan kasih tahu Igo ya, soal kelainan yang aku derita. Aku gak mau dia jadi khawatir…”
Rose mengangguk.
***
“Aku suka kamu…”
Lilac terhenyak. Kata-kata tersebut bak petir yang menggelegar di telinganya. Kata-kata yang ia harapkan akan keluar dari bibir orang yang dia sayangi hanya untuknya, ternyata diberi pada orang lain. Igo, menyatakan rasa sayangnya bukan pada Lilac. Melainkan pada Rose. Dan hal itu membuatnya tak urung menahan rintik-rintik air untuk turun perlahan.
Dengan matanya yang berkaca, ia melihat ekspresi Rose yang tak kalah kaget. Rose bahkan sampai memalingkan wajahnya untuk beberapa waktu dari Igo. Baru setelah Igo memegang dagunya dan mengangkat wajahnya, ia terpaksa memberanikan diri memandang lelaki tersebut. Igo kembali berkata, “Dan aku yakin, kamu juga suka sama aku.”
“Sok tahu! kalau aku suka sama kamu, aku gak mungkin sering ngehina kamu. Ge-eR!” ujar Rose. Ada getaran dalam nada bicaranya. Ia sendiri mengesalkannya dalam hati. Kenapa belakangan ini dia jadi sering gugup.
“Tapi aku bisa baca di mata kamu. Aku sering ngelihat kamu curi pandang ke arah aku kalau kamu lagi bicara sama Lilac. Aku juga sering gitu. Dan kamu munafik kalau kamu bilang kamu gak menyadarinya.” Igo menatap Rose semakin lekat. Rose mengepal erat tangannya seraya menundukkan kembali kepalanya. Tak lama kemudian ia angkat kepalanya dengan bulir-bulir air yang turun dari matanya dan berkata, “Iya. Kamu benar. Aku memang suka sama kamu…”
Lilac, yang mendengar percakapan itu dari balik pintu kelas, dua kali terhenyak. Tiba-tiba saja, dunia serasa bergoyang. Kepalanya berkunang-kunang dan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia mencoba menahan tubuhnya dengan menyentuh bagian sendi pintu. Samar-samar ia mendengar Rose berbicara lagi. “Tapi ada seorang lain yang lebih menyukai kamu. Dan aku rasa dia lebih pantas bersama kamu.”
“Tapi aku gak peduli!” tandas Igo. “Yang penting perasaan kamu dan aku. Aku gak perduli sama perasaan orang ketiga itu”
“Tapi gimana kalau orang ketiga itu Lilac! Dia suka sama kamu. Dia suka sama kebaikan kamu. Dan kamu gak bisa seenaknya mengabaikan perasaan dia.”
“Iya, tapi aku bisa jelasin dia tentang perasaan aku. Dan aku yakin dia pasti bakal ngerti.”
Terdengar desahan nafas Rose sebelum ia berkata, “Dengar ya,…”
Dan kemudian… jantung Lilac tanpa ia inginkan berdetak lebih cepat diiringi rasa sakit. Ia memegang dadanya walaupun itu tak bisa menghilangkan rasa sakitnya. Dan perlahan, darah keluar dari hidungnya. Ia mencoba berpegangan pada pintu tersebut hingga akhirnya…
BRUK!!!
Tubuhnya terjatuh, menabrak pintu hingga terbuka lebih lebar.
Perlahan, kelopak mata Lilac menutup. Dunia menjadi gelap.
Igo dan Rose keluar karena mendengar suara dentuman itu. Igo segera mengangkat tubuh pucat Lilac dan membawanya ke mobil menuju rumah sakit, diiringi isakan sesal Rose.
Sebelum mengalami sesak dan terjatuh, Lilac samar-samar mendengar perkataan Rose yang jelas lebih memberi kejutan hebat baginya. Karena dengan mengatakannya, itu sama saja dengan mengingkari janji Rose padanya.
“…Lilac kena kelainan katup aorta dan dia gak boleh stress atau terkejut karena sesuatu yang gak mengenakkan kayak begini. Kamu harus mengerti itu. Sori, aku gak bisa nerima kamu…”
***
“Kenapa kamu gak pernah ngasih tahu aku soal penyakit Lilac?” tanya Igo, seusai pemakaman Lilac. Rose, dengan payung hitam menutupi kepalanya, tersenyum kecut dan berkata, “Karena dia gak mau kamu khawatir. Itu semua dia lakuin buat kamu…”
Igo mendesah. “Kenapa dia begitu mikirin perasaan aku? Padahal aku sendiri gak pernah peduli. Aku benar-benar jahat…”
Rose menyentuh bahu Igo dengan lembut. Igo hanya bisa memandang pemilik tangan tersebut dengan wajah yang memerah, menahan tangis. Rose mencoba memnberikan penghiburan. “Gak usah nyalahin diri kamu. Semua itu terjadi di luar kendali kita, kan? Lagipula kan Lilac udah bilang kalau gak ada yang perlu dimaafin. Dan kalaupun ada yang harus disalahin, itu cuman satu orang. Aku. Karena aku udah nyakitin dia dengan ngambil perasaan kamu…”
“Kok jadi gantian sih?” tukas Igo sambil tertawa kecil. Sambil merangkul pundak Rose, dia berkata, “Mendingan kita turutin kata Lilac. Bikin Lilac yang baru buat dia. Tapi… suatu saat. Oke?” Rose mengangguk dengan semangat. “Iya. Dengan pink yang dominan tentunya, iya kan?”
“Ye… siapa bilang? Biru dong! Entar kalau pink yang dominan, entar jadi violet.”
“Pokoknya pink…”
“Biru…”
“Pink…
“Biru…”
“Dek…!” tiba-tiba suatu suara parau menghentikan perdebatan mereka berdua. Mereka berpaling ke belakang dan tampaklah seonggok tubuh yang dibalut dengan pakaian kumal dan kumis putih yang tipis mengelilingi mulutnya. Pak tua itu melanjutkan, “Jangan ribut! Ini kuburan… entar yang ziarah pada terganggu, dek!” sebelum Igo atau Rose sempat mengucapkan minta maaf, Pak tua itu sudah berbalik dan pergi. Igo dan Rose saling bertatapan, tersenyum, lalu pergi dengan kedua tangan saling bergenggaman.
“Semuanya harus seimbang. Biar bisa jadi diriku...” samar-samar terdengar bisikan tersebut di telinga mereka berdua.






PS :
- Rose = pink pucat
- Indigo= biru donker
- sLilac = ungu muda

Tafashi

Ketika sepasang manusia, pria dan wanita, bertemu namun berpisah, tapi memadu janji tuk saling menemukan di depan Tafashi, akan saling terikat satu sama lain dan kelak akan bertemu di depan benteng itu, dalam keadaan saling mencinta dan takkan terpisahkan sampai selama – lamanya…
***
Prince Pink,
Aku selalu menatap bangunan berbata di depanku ini dengan pandangan penuh harap sambil berdoa dalam hati agar mitos tersebut bisa terwujud dalam kehidupanku. Selama ini, tiada hal yang paling kuinginkan selain mendapati diriku bisa bersama dengan orang yang pernah berjanji denganku di sini. Ya, di sini. Tepatnya di depan gerbang bangunan ini. Bangunan yang telah menjadi saksi kehidupan kasih masa kecilku dan sepertinya akan menjadi perajut cinta masa remajaku. Bahkan mungkin hingga masa tuaku. Walau kadang hati meragu, tapi entah kenapa selalu ada keyakinan yang tersimpan bahwa semua akan segera terwujud. Ya, selalu yakin. Terutama saat aku menatap Tafashi…
Dan kini, aku tengah menantimu. Ya, menanti dirimu yang telah berjanji bersamaku. Menantimu seperti hari – hari yang lalu, minggu – minggu yang lalu, bulan – bulan yang lalu, bahkan bertahun – tahun lalu tanpa sedikit pun merasa letih ataupun sepi.
Aku tidak tahu apakah dirimu di sana telah berubah. Namun jika demikian, aku yakin akan mengenalmu. Ya, aku amat yakin. Hatiku akan mengatakannya…
Fresha

***
Sebuah mobil berderu, memecah lamunan Fresha. Fresha yang sedari tadi memandangi bangunan berbata di depannya, kini berpaling, menoleh ke arah mobil tersebut. Sebuah kijang biru tengah melenggang masuk ke sebuah rumah di samping bangunan di depan Fresha. Fresha menatap mobil tersebut tanpa berkedip sedikit pun. Saat itulah pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang duduk di salah satu kursi depan, begitu juga lelaki itu. Saat itu, Fresha merasa jantungnya berdebar – debar, sampai-sampai ia meremas bajunya. Dan lelaki itu terus menatapnya tanpa berkedip. Hingga akhirnya mobil itu masuk dan mereka tidak saling bertatap lagi…
***
Sakura,
Bertahun – tahun aku menunggu. Menunggu waktu yang siap mempertemukan kita, tanpa sedikit pun merasa letih atau sepi. Dan kini, waktu itu telah datang. Waktu yang akan mempertemukan kita, waktu yang akan membuka tabir hati kita. Juga… waktu yang akan mewujudkan impian kecilmu sedari kecil. Ya, waktu ini akan mewujudkan mitos benteng Tafashi . waktu ini akan mewujudkannya. Dan benteng itu akan menjadi saksinya…
Walau kamu sama sekali tak mengenal namaku dan begitu juga sebaliknya, namun aku yakin kamu akan mengenal diriku bagaimanapun caranya. Begitu juga diriku. Aku sangat yakin akan hal itu…
Ya, aku sangat yakin. Teramat yakin malah. Tapi ada satu hal yang mengganjal hatiku, bahkan hampir menyenggol keinginanku untuk bertemu denganmu. Hal yang terus menghantuiku hingga membuatku sesak, hingga kadang membuat keyakinanku sulut…
Akankah kau dapat menerimaku apa adanya?
Miro
***
“Kamu suka benteng ini?” Sebuah suara mengalun ke telinga Fresha, membuatnya berpaling dari kesibukannya menatap Tafashi.
Seorang lelaki dengan senyum dan rona merah di pipinya, menatap Fresha. Wajahnya nan rupawan sempat membuat Fresha lupa dunia karena takjub. Fresha baru tersadar kembali ketika lelaki itu bertanya kembali, “Kamu suka benteng itu?”
“Hah? Oh… aku… aku suka ngelihat benteng ini.” Balas Fresha agak gugup. Saat itu, Fresha baru menyadari satu hal. Cowok itu berdiri di hadapannya dengan dua buah tongkat yang bertengger di kedua sisi tangannya. Fresha memandangi kedua kaki cowok itu dengan begitu serius, tanpa memperdulikannya. Lelaki itu, yang menyadari pandangan Fresha, hanya menjawab, “Saya dulu pernah mengalami kecelakaan. Dan kata dokternya, salah satu kaki saya ini harus diamputasi. Makanya jadi begini.”
Lelaki itu kemudian tersenyum kembali.
“Kenapa gak pakai kursi roda aja? Kan lebih praktis. Kamu juga gak perlu repot, kan?” kata Fresha sedikit iba. Lagi – lagi cowok itu hanya tersenyum. “Gak ah. Lebih baik begini. Kalau aku pakai kursi roda, rasanya dunia ini seakan berhenti. Gak enak pokoknya. Lagian, aku harus terus berdiri. Ya, berdiri sebagaimana ia berdiri di sini.” Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke benteng tersebut. Walau sesungguhnya Fresha tidak mengerti akan maksud ucapan lelaki itu, Fresha menangkap ada nada kesedihan dari tiap kalimat yang lelaki itu ucapkan. Fresha jadi makin mengiba.
“Ah, sudahlah. Ngomong – ngomong… nama kamu siapa?” tanya lelaki itu.
“Aku Fresha. Kamu?”
“Miro” jawabnya pendek sambil tersenyum kembali dan mengeluarkan rona pipi yang kemerah-jambuan.
Sejenak Fresha terdiam. Melihat senyum Miro, ia jadi berdebar – debar. Dan ia merasa pernah melihat senyuman tersebut sebelumnya. Tapi senyum siapa?
“Rumahku di samping benteng ini. Aku baru pindah dari Jerman.” Kata Miro. Fresha mengernyitkan dahi. Jerman? Kalau tidak salah dia juga pindah untuk ikut neneknya ke Jerman. Jangan – jangan…
“Mmm… Fresha, aku masuk dulu ke rumah, ya. Sampai jumpa!”
Dengan kedua tongkatnya, Miro berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan Fresha yang terdiam mematung tanpa sempat menanyakan hal yang sangat ingin ia tanyakan.
Dan ketika Miro hendak menutup pintu pagar, gerakan tangannya terhenti. Ia teringat gadis yang baru saja ia temui di depan benteng itu. Matanya terbelalak, seperti baru saja menyadari sesuatu. Dan dengan tergesa – gesa, ia keluar dan hendak kembali ke benteng itu. Akan tetapi, ia terjatuh karena tongkatnya dipaksa turut tergesa hingga mengganjal sebuah batu. Dan ketika ia menaikkan wajah, di depan benteng itu sudah tidak ada siapa – siapa. Gadis itu telah pergi…
***
Gadis kecil itu menatap lelaki kecil yang ada di hadapannya dengan mata berair. Ia terisak penuh gelisah.
“Pink, ntar kalau kamu pergi ke Jerman, aku sama siapa mainnya?” tanyanya. Mendengar pertanyaan gadis itu, lelaki kecil itu hanya bisa berkata, “Kan kamu bisa cari teman lain. Banyak kok yang pengen teman ama kamu.” Sebenarnya lelaki kecil itu ingin menangis. Tapi ia coba menahan turunnya rintik – rintik dari matanya. Ia tak ingin melihat gadis kecil di hadapannya itu makin menangis.
Sesaat keduanya terdiam. Hingga akhirnya, lelaki kecil itu tersenyum—diiringi dengan pipi yang merona kemerah-jambuan—dan berkata kepada gadis kecil itu, “Lagipula, kamu ingin mewujudkan mitos Tafashi, kan? Kalau kita tidak berpisah, mana mungkin bisa terwujud. Jangan nangis lagi, ya!” lelaki kecil itu meletakkan sebelah tangannya ke wajah gadis itu dan menghapus bulir – bulir air di matanya. Dan dengan terisak, gadis itu bertanya lagi, “Kalau begitu kamu janji bakal kembali, kan?”
Lelaki kecil itu mengangguk . “Iya, Sakura. Aku janji…”
Dan mereka berdua menatap benteng yang ada di hadapan mereka dengan penuh senyum, seakan kesedihan yang tadi melanda hati mereka tidak pernah terjadi…
***
“Miro, kamu tahu mitos benteng yang ada di depan kamu sekarang, tidak?” tanya Fresha. Fresha dan Miro kini tengah berada di depan gerbang Tafashi. Miro telah tiga hari berada di kota tersebut dan selama tiga hari, mereka berdua telah menjadi teman akrab. Dan tiap sore, Fresha pasti mengajak Miro pergi ke luar untuk memandangi benteng. Begitu juga sekarang.
Miro hanya terdiam. Ia hanya memandang bangunan di hadapannya itu dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Dan diamnya Miro diartikan sebagai ungkapan ‘tidak tahu’ oleh Fresha. Fresha berujar, “Benteng ini punya mitos. Dua orang, pria dan wanita yang bertemu di benteng ini tapi kemudian berpisah di depan benteng ini juga, bakalan dipertemukan kembali di depan benteng ini juga dalam keadaan saling mencinta. Dan gak bakalan terpisahkan sampai kapan pun juga.”
Lagi – lagi Miro hanya diam. Ia hanya memandang bangunan di depannya itu tanpa sedikitpun menoleh ke Fresha. Sementara itu, Fresha terus melanjutkan ceritanya. “Mamaku yang cerita. Dan semenjak saat itu, aku kepengen banget mewujudkan mitos itu. Dan sebentar lagi aku yakin, aku bakalan bisa ngewujudin hal itu.”
Mendengar hal itu, Miro spontan berpaling. Matanya yang dari tadi hanya menatap datar, kini berubah antusias. Ia mulai membuka mulutnya. “Maksud kamu apa?”
Fresha menghela nafas. “Waktu kecil, kira – kira umur tujuh tahun, aku pernah ketemu ama seorang anak laki-laki. Dia itu penghuni baru di kompleks ini, tapi dia cuman tinggal selama tiga hari. Kami berdua ketemu di sini dan bermain di sini. Bahkan waktu berpisah, kami juga berada di benteng ini. Makanya aku yakin bisa ngewujudin mitos itu. Emang sih, sebelumnya aku pernah cerita ke dia tentang keinginanku itu. Mungkin itu salah satu alasan dia gak sedih waktu berpisah sama aku.”
“Terus kamu tahu siapa dia?” tanya Miro antusias. Fresha menggeleng. “Gak. Dia sendiri gak tahu namaku. Aku manggil dia itu Prince Pink, kalau dia manggil aku dengan sebutan Sakura. Dia manggil aku Sakura karena katanya kulit aku ini mirip sama warna daun Sakura. Tapi aku lupa kenapa aku manggil dia Prince Pink. Yang jelas kami gak pernah tahu nama kami masing – masing. Bahkan di saat dia mau pergi ke Jerman, kami gak kepikiran untuk tahu nama masing – masing.” Setelah berkata demikian, tiba – tiba Fresha terhenyak. Ia berpaling ke arah Miro. Matanya menatap orang yang ada di hadapannya itu seakan menyadari sesuatu. Miro mengernyitkan dahi. “Ada apa?” tanyanya. Bibir Fresha perlahan terbuka. “Ng… kamu kalau gak salah pindah dari Jerman, kan?” tanya Fresha agak ragu. Miro mengangguk sambil tetap melihat Fresha dengan dahi berkernyit. “Apa kamu pernah…”
Belum sempat Fresha menyelesaikan ucapannya, tiba – tiba sebuah suara terdengar, memutuskan omongan Fresha. suara itu memanggil, “Miro… masuk!” dan kedengarannya orang yang memanggil Miro itu adalah wanita.
Fresha dan Miro kemudian melihat ke arah orang yang memanggil tersebut. Tampak seorang wanita separuh baya tengah menanti dengan senyum sambil melambaikan tangannya dari depan pagar rumah Miro. Sepertinya ibu Miro yang ingin mengajak anaknya masuk. Miro kemudian menatap Fresha, tersenyum, dan berkata, “Fresh, aku masuk dulu, ya. Besok kita lanjutin lagi.” Wajah Miro kembali merona merah-jambu.
Dengan kedua tongkatnya, Miro berjalan ke arah wanita separuh baya itu dan masuk ke dalam. Wanita itu kemudian tersenyum pada Fresha dan juga masuk ke dalam. Sepeniggal mereka berdua, Fresha hanya bisa menghela nafas. Ia kemudian menatap Tafashi dengan tidak bergairah dan berbalik pergi.
Sementara itu, seorang lelaki yang kini tengah berada pada teras rumahnya bersama seorang wanita separuh baya dengan segelas susu, membelalakkan matanya. Dan dengan tergesa – gesa mengambil dua buah tongkatnya dan mulai berlari menuju luar rumah. Wanita separuh baya itu langsung berdiri dan menahannya. Lelaki itu bersikeras hingga berusaha melepaskan diri. Akan tetapi wanita itu tetap menahannya dan mengajaknya masuk. Lelaki itu hanya bisa menurut, sambil kemudian menatap bangunan di samping rumahnya itu dengan sendu saat masuk…

***
Sakura,
Aku menemukanmu. Ya, aku sudah menemukanmu. Hhh… rasanya tidak percaya aku bisa bertemu denganmu secepat ini. Aku begitu bahagia. Tapi ada satu hal yang kusesalkan, dalam dua pertemuan yang kita jalani, aku selalu saja terlambat menyadari sesuatu. Saat pertama kali kita bertemu, aku baru menyadari kalau kamu adalah Sakuraku ketika aku telah menapakkan kaki ke dalam rumah. Dan yang kedua, aku baru mengetahui apa yang akan kau katakan pada saat aku telah berada di teras rumahku. Dan ketika aku hendak memberitahumu, pasti selalu ada halangan.
Dan tahu tidak alasanmu memanggilku dengan sebutan Prince Pink? Karena ketika tersenyum pipiku langsung merona merah-jambu alias pink. Tapi kenapa kamu gak ingat?
Hhh… apa arti dari semua ini?
Miro

Prince Pink,
Entah kenapa belakangan ini aku merasa kalau kamu ada di dekatku. Aku tidak mengerti. Padahal sepertinya kamu belum, pernah kembali ke sini. Dan ada satu hal yang mengganjal pikiranku saat ini, aku seperti merasakan kehadiranmu saat berada bersama Miro.
Aku merasa ada satu kesamaan di antara kalian. Bukan hanya karena dia juga sempat tinggal di negara yang sama denganmu, tapi juga ada hal lain. Saat aku melihat senyumannya disertai dengan rona merah-jambu di pipinya, aku teringat akan dirimu. Aku jadi bertanya – tanya, apakah dirimu adalah dia?
Fresha
***
Sudah seminggu ini Fresha dan Miro tidak pernah bertemu. Ini dikarenakan Fresha tengah sibuk belajar untuk mengikuti ujian tengah semester sekolah. Jadi untuk sementara waktu, Fresha tidak diperkenankan keluar oleh ibunya. Makanya selain tidak bertemu dengan Miro, ia juga tidak pernah lagi melihat Tafashi. Dan juga pertanyaan yang mengganjal di pikirannya itu belum sempat ia tanyakan pada Miro. Pertanyaan yang berhubungan dengan masa lalunya.
Dan akhirnya, tepat pada hari Selasa, ujian semester telah berakhir. Fresha bisa keluar menghirup udara segar setelah seminggu hanya berkutat dengan buku, buku, dan buku. Dan ia memutuskan untuk pergi ke rumah Miro. Ya, ke rumahnya. bukan ke samping rumahnya.
Di depan pintu gerbang rumah tersebut, Fresha disambut hangat oleh ibu Miro. Akan tetapi sayangnya, Miro tidak berada dalam rumah. Ia tengah pergi bersama kakaknya untuk mendaftar di sekolah luar biasa di kota tersebut. Fresha disuruh menunggu Miro di ruang keluarga. Ya ampun, mamanya itu baik sekali. Fresha bukan keluarga, tapi sudah langsung diperbolehkan masuk ke sana. Wah, Miro pasti senang banget.
Mama Miro kemudian meninggalkan Fresha sendiri karena masih harus memasak di dapur. Sepeninggalnya, Fresha langsung memandang sekelilingnya tanpa henti. Akan tetapi, ketika ia melihat sebuah pigura berukiran kayu yang berdiri di atas sebuah meja kaca kecil di sudut ruangan tersebut, pandangan matanya berhenti. Ia berjalan ke arah meja tersebut dan mengambil pigura tersebut. Tampak gambar seorang anak lelaki yang kira – kira berumur tujuh tahun tengah tersenyum dengan rona merah di pipi. Anak tersebut sangat ia kenal sepertinya. Fresha langsung memegang dahinya, mencoba mengingat akan anak tersebut. Dan tiba – tiba ia tersentak. Dan tanpa diduga, setitik air keluar dari mata kanannya, diikuti dengan titik air berikutnya. Fresha langsung terhempas ke atas sofa sambil memeluk foto tersebut. Hingga akhirnya…
“Ada apa?” sebuah suara bertanya, membuat Fresha mengusap air matanya dan berpaling ke arah sumber suara. Tampak olehnya sesosok lelaki dengan kedua tongkat menopangnya ditambah dengan wajah yang agak menegang. “Kenapa kamu menangis?”
Fresha memandang lelaki tersebut, berdiri, kemudian menangis sambil memegang foto tersebut, “Aku ingat! Aku ingat semua! Aku ingat kenapa aku menyebut anak lelaki di foto ini dengan sebutan Prince Pink. Aku tahu semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikiranku untuk kamu. Dan aku tahu siapa Prince Pink-ku. Dia itu kamu! Iya, kan, Miro?” Miro hanya bisa terdiam. Fresha melanjutkan ucapannya. “Kenapa kamu gak bilang kalau orang yang aku cari – cari itu kamu? Kamu udah dengar cerita aku, dengar cerita tentang kerinduan aku sama Pink, tapi kenapa kamu gak mau ngasih tahu aku? Kenapa kamu tega ngebiarin aku nunggu padahal orang yang aku cari itu ada di dekat aku? Kenapa?”
Miro menghela nafas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Kemudian ia berkata, “Jujur, sejak awal kita bertemu, aku udah tahu kalau kamu itu Sakuraku. Tapi aku sadar baru di saat aku hendak aku masuk. Dan aku semakin yakin kalau kamu itu Sakuraku, sejak kamu menceritakan keinginan kamu tentang mitos itu dan penantian kamu akan diriku. Tapi saat itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Ah… pokoknya sulit untuk dijelaskan.” Miro pun akhirnya berhenti bicara. Sesaat suasana hening, yang terdengar hanyalah sedu sedan Fresha yang terus memeluk foto tersebut. Hingga kemudian Miro melanjutkan, “Lagipula aku takut kamu gak bakal menerimaku dengan keadaanku yang sekarang ini. Aku cacat, aku gak sempurna dan jauh dari impian kamu. Makanya aku jadi ragu untuk jujur ke kamu.”
“Bodoh!”seru Fresha. “Kalau aku cuman mentingin hal itu, gak bakal mungkin aku mau teman ama kamu, kan? Lagian aku gak sejahat itu. Aku tuh selalu nerima orang apa adanya, apalagi orang yang aku yakin bakal jadi teman hidup aku. Bodoh!!!”
Miro hanya diam, Fresha sendiri hanya tahu menangis. Keheningan kembali menjalar di antara mereka. Akhirnya, Fresha memutuskan untuk berlari. Saat itu Miro mengira Fresha akan keluar, tapi ternyata… Fresha menghempaskan tubuhnya ke tubuh Miro dan melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Miro. Miro terbelalak. Fresha menangis tertahan. “Aku gak bakal mungkin gak menerima kamu… orang yang bakal menjadi teman hidupku. Gak bakal mungkin.”
Miro membiarkan Fresha menangis di tengah pelukannya terhadap dirinya tanpa berbicara apa – apa. “Bicara Miro, bicara. Jangan diam aja!” seru Fresha.
Miro menghela nafas. “Apa lagi yang harus aku bilang?” tanyanya, melepaskan pelukan Fresha dan menghapus air yang jatuh menggenangi wajah gadis di depannya. Lalu ia tersenyum—dengan rona merah-jambu di pipi tentunya—dan berkata, “Oh ya, ada tiga kata yang harus aku bilang ke kamu. Aku… sayang… kamu.”
Fresha tersenyum dan kembali melingkarkan tangannya ke pinggang Miro. Miro melepaskan salah satu tongkatnya dan memeluk Fresha dengan sebelah tangannya.
Dari jendela, tampak sebuah benteng berwarna merah, yang tampak semakin merah karena sinar mentari yang semakin riang megoleskan selai keemasannya, berdiri kokoh dan tegap. Seakan bangga menjadi alasan sekaligus saksi cinta dua manusia tersebut. Dan waktu yang terus berputar, menemani mereka menjalani lika-liku kisah yang telah terwujud, setelah sekian lama membiarkan mereka terlarut dalam penantian…
***


Prince Pink,
Terima kasih telah membantuku mewujudkannya…
Aku menyayangimu
Fresha
Sakura,
Senang melihatmu bahagia…
Aku menyayangimu
Miro