Saturday, July 28, 2007

JALAN BELAKANG
Randy memakai jaket hitamnya dan berjalan keluar dari rumahnya. Ia berjalan menuju garasi, ke arah salah satu dari tujuh sepeda motor yang ada di sana. Ia ambil helm yang bertengger di stang motor tersebut, diambilnya kunci motor dari saku jaketnya lalu menyalakan mesin motornya. Kemudian ia gas, dan tak lama kemudian… keluar dengan kecepatan tinggi. Satpam yang menjaga rumahnya sempat kaget juga. Malahan, ia sempat berniat untuk melontarkan makian, namun jika ingat siapa dirinya, nyalinya langsung ciut. Maklum, cuma satpam di rumahnya Randy, gitu, lho!
Randy sendiri bukannya tanpa sebab mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi begitu. Dia dikejar waktu atau lebih sering dikatakan, buru-buru. Ia harus buru-buru karena terancam telat menjemput gadis yang baru seminggu ini menjalin hubungan dengannya, yang sedang les dan sebentar lagi akan pulang. Randy ketiduran sih, makanya tidak lihat waktu. Alhasil, inilah hasil yang dipetik.
Dan ketika di jalan raya—tepatnya saat di perhentian lampu merah--, Randy sempat was-was juga buat kembali ngebut. Jangan-jangan ada polisi lagi, ujarnya dalam hati. Ia palingkan wajahnya ke segala arah. Wah, kayaknya lagi off nih, polisinya. Gak apa Pak, tidur saja terus. Biar saya bisa ngebut dan tepat waktu tiba di sana. Dan dengan penuh keyakinan, Randy makin menggas motornya dan tetap berjalan dengan kecepatan tinggi.
Kemudian Randy menikung di satu persimpangan. Lalu ketika terlihat olehnya sebuah papan bertuliskan “MBC- The Best Course” , ia memperlambat laju motornya dan berbelok masuk ke dalam. Dan tepat di depan sebuah bangunan besar yang merupakan tempat bernama MBC itu, ia berhenti. Ia edarkan pandangannya ke dalam gedung tersebut. Kenapa sepi, sih? Apa sudah pulang semua? Tanyanya dalam hati. Karena penasaran ia putuskan untuk masuk ke dalam.
Namun langkahnya terhenti, ketika sesuatu di dalam saku kanannya bergetar dan berbunyi. Handphonenya. Ia ambil benda tersebut lalu ia lihat layarnya untuk mengetahui siapa yang menelepon dirinya. Setelah itu ia tersenyum, dan ia tekan satu tombol untuk menjawab panggilan tersebut. “Iya, Ra!”
“Ng… Ran, aku mau kasih tahu kamu, kalau kamu tidak perlu menjemputku pulang les sekarang.” Balas suara di seberang. Seorang gadis.
“Kenapa Ra? Padahal aku sudah sampai di tempat lesmu sekarang.” Jelas Randy.
“Hah? Kamu sudah di sana?” jerit gadis itu. “Aduuuh… kamu ini bagaimana sih, aku itu gak les sekarang.”
“Apa? Kok bisa? Terus kenapa kamu gak kasih tahu aku sebelumnya?”
“Tadi jam setengah tiga aku sudah menelepon kamu buat kasih tahu hal ini. Tapi kamu tidak menjawabnya. Kamu ketiduran lagi, ya? Makanya jadi cowok jangan malas. Ngorok saja kerjanya.” Gerutu gadis itu. Randy hanya bisa tersenyum kecut mendengar hal itu.
“Jadi sekarang bagaimana?” tanya Randy pasrah.
“Kamu pulang saja. Oh ya, aku gak les bukan karena malas lho, tapi karena gak enak badan. Kamu jangan pikir yang enggak – enggak dulu. Sudah ya.”
KLIK!
Sambungan terputus. Gadis yang sedari tadi mengomel itu telah memutuskan panggilan. Randy menatap handphonenya dengan tatapan sedih, namun sedetik kemudian mengangkat bahu dan berjalan ke arah motornya. Ia nyalakan mesin motornya, lalu pulang ke rumahnya.

***
Randy akhirnya sampai juga di rumahnya. Setelah memarkirkan motornya di garasi, ia langsung masuk ke dalam rumahnya dan menaiki tangga menuju kamarnya.
Ketika Randy berjalan hampir melewati sebuah kamar, samar-samar terdengar ratapan seorang wanita dari dalam. Randy berhenti sebentar. Ia dekatkan telinganya ke pintu agar semakin jelas mendengar suara samar-samar itu. Beberapa menit setelah itu, air muka Randy berubah. Dahinya yang tadi berkernyit penasaran, kini menaik ke atas. Ia jauhkan telinganya dari pintu itu kemudian berjalan lagi dan dengan ekspresi datar, seperti menganggap kalau hal yang baru saja ia ketahui itu adalah biasa.
Ya, ratapan tadi berasal dari ibunya. Ibunya memang seringkali meratap diam-diam di dalam kamar tersebut. Padahal kamar tersebut bukanlah kamar yang biasa ia pakai untuk istirahat. Kamar tersebut hanya digunakannya untuk meratap. Ya, meratapi suaminya yang merupakan ayah Randy, yang jarang sekali pulang ke rumah. Ayah Randy selalu beralasan ada urusan kantor, padahal tidaklah demikian. Ayah Randy memang pergi bersama rekan-rekan bisnisnya, tapi bukan untuk berdiskusi masalah pekerjaan, melainkan untuk bersenang-senang. Bersenang-senang di hotel atau di diskotik dengan seorang penghibur. Randy dan ibunya telah mengetahui hal itu dari sepupu Randy, yang pernah memergoki perbuatan tak terpuji ayah Randy secara tidak sengaja ketika tengah pergi ke diskotik dengan salah seorang temannya. Sebenarnya, Randy ingin sekali melabrak ayahnya, namun ibunya melarangnya. Beliau takut rumah tangganya akan rusak jika masalah tersebut diributkan. Alhasil, ibunya serta Randy hanya bisa menahan rasa sakit dalam hati, tanpa bisa mengungkapkannya.
Dan Randy hanya bisa mengungkapkan kekesalannya dengan bersikap cuek terhadap segala urusan ayahnya. Buat apa pusingin lelaki seperti dia? Toh, aku juga punya hidup. Yang penting jangan sampai aku seperti dia nanti, begitulah prinsipnya sekarang ini. Makanya, ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk setia dalam berhubungan, sekalipun itu masih pacaran. Apalagi bila pacarnya secantik gadis yang tengah menjadi kekasihnya sekarang ini, yaitu Tiara. Ya, Tiara, gadis cantik yang—meskipun agak judes—amat menarik dan misterius bagi tiap laki-laki di sekolahnya. Sudah berapa banyak lelaki yang menyatakan cinta padanya, namun ditolak oleh Tiara. Dan hanyalah Randy yang berhasil mendapatkan hati Tiara. Randy sendiri sampai sekarang tidak tahu mengapa Tiara mau menerimanya. Dia sendiri juga tidak peduli soal hal itu. Yang penting baginya hanyalah kebanggaan punya pacar yang cantik yang dicintai olehnya serta mencintainya juga.
Di kamar, Randy memandangi foto gadisnya itu. Ah... Tiara, betapa berharganya kau untukku. Doakan aku agar tetap setia padamu, tidak seperti ayahku yang binal itu. Yang bermain dengan perempuan lain di jalan belakang. Tidak tahu malu. Semoga aku tidak demikian.
Tiba-tiba saja muncul dalam benak Randy untuk mengajak Tiara berkencan untuk menghilangkan penat dalam hatinya. Iya, berkencan ke sebuah cafe yang romantis pasti akan bisa menghilangkan penat sekaligus menjadi salah satu kenangan manis bagi mereka berdua. Eh, tapi tadi Tiara bilang dia tidak enak badan? Apa dia mau diajak pergi ke cafe yang dingin? Ah, pasti dia mau. Randy yakin, sebab Tiara pernah bilang dia sangat suka pergi ke cafe untuk dengerin musik di sana. Lagipula, inikan kencan pertama mereka. Ya, pasti Tiara tak akan bisa menolak.
Randy mengambil handphonenya dan menekan nomor handphone Tiara. Betul-betul pacar yang baik... nomor handphone pacar dihapal mati. Tapi memang seharusnya begitu, ya?
Agak lama ditunggu Randy jawaban dari Tiara. Untung saja handphone Tiara punya ring backtone, jadi Randy tidak bosan menunggu jawaban darinya. Anggap aja lagi dengerin radio atau kaset. Coba kalau Tiara gak punya ring backtone, wah... dijamin Randy akan bolak-bolik memutuskan panggilan lalu meneleponnya lagi. Dan akhirnya, penantian Randy tidak sia-sia. Tiara menjawab telepon darinya.
“Halo,” sapa suara di sana.
“Tiara, kita jalan yuk.” Ajak Randy tanpa basa-basi terlebih dulu.
“Ke mana?” tanya Tiara ketus. Kedengarannya dia tidak begitu antusias mendengar ajakan dari pacarnya itu.
“Ke cafe. Aku tahu cafe yang romantis dan cocok buat kencan. Mau, ya?”
“Ng... gimana ya, Ndy.” Tiara berujar manja. “Aku bisa. Aku tadi sudah bilang kan, sama kamu kalau aku tidak enak badan. Jadi maaf ya, kapan-kapan saja.” Setelah berkata demikian, Tiara langsung memutuskan sambungan tanpa mengucapkan salam jumpa dan tanpa membiarkan Randy mengucapkan sepatah kata pun. Randy hanya bisa menghela nafas pendek. Hhh... Tiara- Tiara. Kenapa kamu begitu cuek?
Akhirnya, Randy memutuskan menelantangkan tubuhnya di atas kasurnya dan membenamkan kepalanya di balik bantal. Mungkin hanya itulah cara untuk menghilangkan penatnya untuk saat ini. Dia sendiri malas jika hanya pergi seorang diri ke sana.
Tiba-tiba, handphonenya yang ia letakkan di sebuah meja di samping kasurnya berbunyi. Agak lama ia biarkan berbunyi, berharap orang yang meneleponnya itu langsung memutuskan panggilannya. Randy sedang malas bicara sekarang. Namun hal itu diurungkannya, karena handphone tersebut terus berbunyi. Penyabar juga rupanya orang itu.
Tanpa melihat ke layar handphonenya, Randy langsung menekan salah satu tombol dan berkata,”Siapa?”
“Ini aku, Sony.” Balas suara di sana.
“Siapa?” tanya Randy lagi. Ia tidak bisa mendengar jelas jawaban orang itu. Ada suara ribut sepertinya di dekat orang yang menelepon dirinya.
“SONY, Ran!” seru Sony. “SONY SEPUPUMU.”
“Oh…iya-iya.” Randy mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ada apaan?”
“Aku lihat papa kamu di sini. Di diskotik.” Ujar Sony keras, supaya Randy bisa mendengar ucapannya.
“Apa?” seru Randy. “Di diskotik mana? Dengan siapa?”
“Di diskotik dekat Plasa M. Dia sendirian, tapi kayaknya lagi menunggu seseorang. Soalnya aku dengar dari pelayan di sini, dia pesan meja untuk empat orang sama kamar kosong.”
“Hah? Kamar kosong? Buat apaan?” “Kamu kira aku tahu? Sudah deh, pokoknya kamu cepat ke sini. Biar kamu lihat sendiri nanti.”
KLIK!
Sambungan telah diputus. Randy langsung saja membuka pintu kamarnya dengan kasar dan meninggalkannya dalam keadaan terbuka. Kali ini, ayahnya tak akan ia biarkan lolos. Ia akan melabrak ayahnya, jika yang ditunggu olehnya adalah wanita yang tidak pernah terikat dengannya.
***
Akhirnya, Randy sampai di tempat tujuan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung yang bernama diskotik apalah itu. Bunyi musik yang keras langsung terdengar meskipun ia baru saja melangkah di pintu masuk. Ia celingak – celinguk memandang sekeliling, mencari di mana Sony. Ia melihat Sony tengah asyik duduk di bar dan tengah bercakap-cakap dengan salah seorang bartender di sana. Ia berjalan ke arah Sony.
“Hei.” Sapanya sambil menepuk pundak sepupunya itu. “Dimana si tua itu?”
“Eh, Randy. Dia di… sana tuh,” Sony mengarahkan pandangan Randy ke sebuah meja yang terletak paling sudut. “Dia masih sendiri. Kamu sabar nunggu dia?”
“Sabar banget. Yang penting, aku bisa meyakinkan mama aku untuk cerai sama si tua itu. Aku pusing dengar mamaku nangis terus.” Ujar Randy. Sony hanya mengangguk. 15 menit mereka habiskan dengan bercakap-cakap untuk mengawasi ayah Randy. Hingga akhirnya…
“Ran, kayaknya orang yang ditunggu papa kamu sudah datang.” Sony memberitahu Randy. Randy mengarahkan pandangannya ke meja tempat ayahnya duduk. Terlihat olehnya seorang pria berjas diiringi oleh dua orang perempuan berpakaian terbuka. Yang satu berjalan disamping kanan pria berjas itu, memakai kemben berwarna merah dan rok super mini yang hanya menutupi seperempat bagian atas kakinya yang mulus. Rambutnya diikat satu. Sedangkan yang satu lagi, berjalan di samping kiri pria itu, memakai baju bertali satu warna biru, menampakkan setengah bagian perutnya, dengan celana mini ketat berwarna hitam. Rambut panjangnya yang hitam ia uraikan begitu saja.
Ketika Randy melihat gadis yang berjalan di sebelah kiri pria itu, ia seakan mengenalnya. Padahal ia tidak pernah pergi ke tempat ini sebelumnya. Tapi kenapa ia merasa begitu akrab, terutama jika ia memperhatikan rambut panjang gadis itu. Aduh… jangan-jangan aku tertarik lagi sama dia? Oh tidak… jangan sampai aku seperti ayahku yang sialan itu.
“Ran, gila! Tuh cewek yang pakai celana langsung ngelendot di pangkuan papa kamu. Eh, tapi… dia kan cewek yang waktu itu aku lihat sama ayah kamu.” Sony menjelaskan. Randy makin membesarkan penglihatannya. Sangat sulit melihat wajah gadis itu di tengah lampu diskotik yang cahayanya samar itu. Ia putuskan untuk maju satu meter lagi untuk memperjelas. Dan…matanya makin membelalak. Mulutnya ternganga. Gadis yang bersama ayahnya itu ternyata… TIARA.
“Woi, Ran, kenapa?” Sony mengguncang-guncangkan tubuh sepupunya yang tiba-tiba mematung. Segera Randy tersadar. Matanya berair. Simbol kemarahan sekaligus kesedihannya. Kenapa… kenapa jadi begini?
Randy dengan langkah agak gontai berjalan ke arah ayahnya. Kedua tangannya mengepal, matanya semakin berair, namun tidak jatuh, hingga sedikit mengaburkan pandangan. Randy sendiri ogah menghapusnya, karena jika ia hapus, ia takut kemarahannya akan teredam dan ia takkan tega melabrak ayah serta gadis yang ia cintai.
Ketika telah berada di sana, tanpa basa-basi Randy langsung menunjang meja tersebut hingga terjatuh. Ayah Randy, Tiara, serta dua orang lainnya berdiri karena kaget. Ayah Randy memalingkan wajah ke arah orang yang melakukan hal itu, berniat memakinya. Namun… reaksinya berubah. Ia terbelalak, kaget akan keberadaan Randy. Begitu juga Tiara. Sedang dua orang yang lain, tampaknya telah pergi meninggalkan tempat tersebut karena diajak Sony pergi entah ke mana. Dan kini, Randy, Tiara, serta ayahnya tengah menjadi tontonan orang-orang yang ada di sana.
“R…Randy…”ujar ayahnya tergagap. “Seda…ng, sedang apa kamu di sini?”
Randy tersenyum sinis. “Apa tidak kebalik? Harusnya Randy yang tanya ke papa, ngapain di sini? Bersama dia lagi” seru Randy seraya menunjuk Tiara. Tiara hanya bisa menunduk.
“Papa,… Papa bisa menjelaskan semuanya.”
“Diaaaaam!” seru Randy. “Papa tidak usah lagi bohong. Randy sudah tahu semuanya, tahu jauuuh sebelum Randy melihat semua ini. Bahkan Mama sudah tahu. Kenapa? Heran darimana kami bisa tahu? Untuk hal itu, Randy tidak bisa kasih tahu papa. Tapi yang Randy dan mama gak tahu, siapa perempuan yang sudah bikin papa berpaling. Dan ternyata…” Randy memalingkan wajahnya ke Tiara. “Perempuan binal ini. Perempuan binal yang juga anak papa cintai. Perempuan yang juga saat ini adalah pacar Randy. Papa menjalin hubungan lewat jalan belakang dengan dia!” Jerit Randy. Airmata mengalir turun dari matanya. Tak kuat ia menahan kekesalannya yangsudah tidak terbendung lagi.
Mendengar hal itu, papa Randy tak kuasa menunjukkan wajah kagetnya. “Randy, papa… papa betul-betul tidak tahu. Jika papa tahu, papa tidak akan mau dengannya. Papa…”
“Cukup.” Seru Randy. “Sekarang… aku kasih tahu ke papa , aku dan mama tidak akan memaafkan papa. Mama pasti akan menceraikan papa. Ya, Randy jamin itu. Dan kamu, Tiara… jangan harap hubungan kita tetap berlanjut. Kamu gak pantas untuk aku ataupun semua pria di dunia ini, kecuali si brengsek ini.” Randy menunjuk ayahnya. Ia tatap dua orang itu bergantian dengan tajam, dengan mata yang masih basah dan wajah yang kian memerah. Tak lama kemudian, ia balikkan badan dan meninggalkan mereka berdua. Namun, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Ia kembali berjalan ke arah mereka—tepatnya ke arah Tiara yang masih saja menunduk—lalu bertanya,”Sebelumnya aku mau bertanya sama kamu, dan aku harap kamu jawab dengan sejujur-jujurnya. Kenapa kamu menerima aku untuk jadi pacar kamu? Padahal jika dibandingkan dengan lelaki lain yang kamu tolak, aku gak ada apa-apanya. Kenapa?” Dengan suara lirih, Tiara menjawab,”Aku… hanya ingin membuat salah satu sainganku cemburu.”
“Siapa?”
“Bunga. Dia suka sama kamu”
“Oh…dia. Cantik juga, boleh deh, aku pertimbangin. Besok aku bakalan menyatakan perasaanku padanya pasti.” Kata Randy dengan cueknya.
“Tapi kamu perlu tahu satu hal, Ran. Aku melakukan hal ini untuk membiayai hidupku.” Jelas Tiara. Namun Randy tidak peduli. Hatinya terlanjur sakit. Dengan santai, ia balikkan badannya dan pergi meninggalkan diskotik itu, diiringi tatapan orang-orang yang masih di sana, termasuk Tiara dan Ayah Randy.
Di luar, di bawah terangnya rembulan dan temaramnya gemintang, Randy menjerit sekeras-kerasnya, dan meratapi apa yang terjadi padanya.

No comments: