Monday, July 2, 2007

Tafashi

Ketika sepasang manusia, pria dan wanita, bertemu namun berpisah, tapi memadu janji tuk saling menemukan di depan Tafashi, akan saling terikat satu sama lain dan kelak akan bertemu di depan benteng itu, dalam keadaan saling mencinta dan takkan terpisahkan sampai selama – lamanya…
***
Prince Pink,
Aku selalu menatap bangunan berbata di depanku ini dengan pandangan penuh harap sambil berdoa dalam hati agar mitos tersebut bisa terwujud dalam kehidupanku. Selama ini, tiada hal yang paling kuinginkan selain mendapati diriku bisa bersama dengan orang yang pernah berjanji denganku di sini. Ya, di sini. Tepatnya di depan gerbang bangunan ini. Bangunan yang telah menjadi saksi kehidupan kasih masa kecilku dan sepertinya akan menjadi perajut cinta masa remajaku. Bahkan mungkin hingga masa tuaku. Walau kadang hati meragu, tapi entah kenapa selalu ada keyakinan yang tersimpan bahwa semua akan segera terwujud. Ya, selalu yakin. Terutama saat aku menatap Tafashi…
Dan kini, aku tengah menantimu. Ya, menanti dirimu yang telah berjanji bersamaku. Menantimu seperti hari – hari yang lalu, minggu – minggu yang lalu, bulan – bulan yang lalu, bahkan bertahun – tahun lalu tanpa sedikit pun merasa letih ataupun sepi.
Aku tidak tahu apakah dirimu di sana telah berubah. Namun jika demikian, aku yakin akan mengenalmu. Ya, aku amat yakin. Hatiku akan mengatakannya…
Fresha

***
Sebuah mobil berderu, memecah lamunan Fresha. Fresha yang sedari tadi memandangi bangunan berbata di depannya, kini berpaling, menoleh ke arah mobil tersebut. Sebuah kijang biru tengah melenggang masuk ke sebuah rumah di samping bangunan di depan Fresha. Fresha menatap mobil tersebut tanpa berkedip sedikit pun. Saat itulah pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang duduk di salah satu kursi depan, begitu juga lelaki itu. Saat itu, Fresha merasa jantungnya berdebar – debar, sampai-sampai ia meremas bajunya. Dan lelaki itu terus menatapnya tanpa berkedip. Hingga akhirnya mobil itu masuk dan mereka tidak saling bertatap lagi…
***
Sakura,
Bertahun – tahun aku menunggu. Menunggu waktu yang siap mempertemukan kita, tanpa sedikit pun merasa letih atau sepi. Dan kini, waktu itu telah datang. Waktu yang akan mempertemukan kita, waktu yang akan membuka tabir hati kita. Juga… waktu yang akan mewujudkan impian kecilmu sedari kecil. Ya, waktu ini akan mewujudkan mitos benteng Tafashi . waktu ini akan mewujudkannya. Dan benteng itu akan menjadi saksinya…
Walau kamu sama sekali tak mengenal namaku dan begitu juga sebaliknya, namun aku yakin kamu akan mengenal diriku bagaimanapun caranya. Begitu juga diriku. Aku sangat yakin akan hal itu…
Ya, aku sangat yakin. Teramat yakin malah. Tapi ada satu hal yang mengganjal hatiku, bahkan hampir menyenggol keinginanku untuk bertemu denganmu. Hal yang terus menghantuiku hingga membuatku sesak, hingga kadang membuat keyakinanku sulut…
Akankah kau dapat menerimaku apa adanya?
Miro
***
“Kamu suka benteng ini?” Sebuah suara mengalun ke telinga Fresha, membuatnya berpaling dari kesibukannya menatap Tafashi.
Seorang lelaki dengan senyum dan rona merah di pipinya, menatap Fresha. Wajahnya nan rupawan sempat membuat Fresha lupa dunia karena takjub. Fresha baru tersadar kembali ketika lelaki itu bertanya kembali, “Kamu suka benteng itu?”
“Hah? Oh… aku… aku suka ngelihat benteng ini.” Balas Fresha agak gugup. Saat itu, Fresha baru menyadari satu hal. Cowok itu berdiri di hadapannya dengan dua buah tongkat yang bertengger di kedua sisi tangannya. Fresha memandangi kedua kaki cowok itu dengan begitu serius, tanpa memperdulikannya. Lelaki itu, yang menyadari pandangan Fresha, hanya menjawab, “Saya dulu pernah mengalami kecelakaan. Dan kata dokternya, salah satu kaki saya ini harus diamputasi. Makanya jadi begini.”
Lelaki itu kemudian tersenyum kembali.
“Kenapa gak pakai kursi roda aja? Kan lebih praktis. Kamu juga gak perlu repot, kan?” kata Fresha sedikit iba. Lagi – lagi cowok itu hanya tersenyum. “Gak ah. Lebih baik begini. Kalau aku pakai kursi roda, rasanya dunia ini seakan berhenti. Gak enak pokoknya. Lagian, aku harus terus berdiri. Ya, berdiri sebagaimana ia berdiri di sini.” Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke benteng tersebut. Walau sesungguhnya Fresha tidak mengerti akan maksud ucapan lelaki itu, Fresha menangkap ada nada kesedihan dari tiap kalimat yang lelaki itu ucapkan. Fresha jadi makin mengiba.
“Ah, sudahlah. Ngomong – ngomong… nama kamu siapa?” tanya lelaki itu.
“Aku Fresha. Kamu?”
“Miro” jawabnya pendek sambil tersenyum kembali dan mengeluarkan rona pipi yang kemerah-jambuan.
Sejenak Fresha terdiam. Melihat senyum Miro, ia jadi berdebar – debar. Dan ia merasa pernah melihat senyuman tersebut sebelumnya. Tapi senyum siapa?
“Rumahku di samping benteng ini. Aku baru pindah dari Jerman.” Kata Miro. Fresha mengernyitkan dahi. Jerman? Kalau tidak salah dia juga pindah untuk ikut neneknya ke Jerman. Jangan – jangan…
“Mmm… Fresha, aku masuk dulu ke rumah, ya. Sampai jumpa!”
Dengan kedua tongkatnya, Miro berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumahnya. Meninggalkan Fresha yang terdiam mematung tanpa sempat menanyakan hal yang sangat ingin ia tanyakan.
Dan ketika Miro hendak menutup pintu pagar, gerakan tangannya terhenti. Ia teringat gadis yang baru saja ia temui di depan benteng itu. Matanya terbelalak, seperti baru saja menyadari sesuatu. Dan dengan tergesa – gesa, ia keluar dan hendak kembali ke benteng itu. Akan tetapi, ia terjatuh karena tongkatnya dipaksa turut tergesa hingga mengganjal sebuah batu. Dan ketika ia menaikkan wajah, di depan benteng itu sudah tidak ada siapa – siapa. Gadis itu telah pergi…
***
Gadis kecil itu menatap lelaki kecil yang ada di hadapannya dengan mata berair. Ia terisak penuh gelisah.
“Pink, ntar kalau kamu pergi ke Jerman, aku sama siapa mainnya?” tanyanya. Mendengar pertanyaan gadis itu, lelaki kecil itu hanya bisa berkata, “Kan kamu bisa cari teman lain. Banyak kok yang pengen teman ama kamu.” Sebenarnya lelaki kecil itu ingin menangis. Tapi ia coba menahan turunnya rintik – rintik dari matanya. Ia tak ingin melihat gadis kecil di hadapannya itu makin menangis.
Sesaat keduanya terdiam. Hingga akhirnya, lelaki kecil itu tersenyum—diiringi dengan pipi yang merona kemerah-jambuan—dan berkata kepada gadis kecil itu, “Lagipula, kamu ingin mewujudkan mitos Tafashi, kan? Kalau kita tidak berpisah, mana mungkin bisa terwujud. Jangan nangis lagi, ya!” lelaki kecil itu meletakkan sebelah tangannya ke wajah gadis itu dan menghapus bulir – bulir air di matanya. Dan dengan terisak, gadis itu bertanya lagi, “Kalau begitu kamu janji bakal kembali, kan?”
Lelaki kecil itu mengangguk . “Iya, Sakura. Aku janji…”
Dan mereka berdua menatap benteng yang ada di hadapan mereka dengan penuh senyum, seakan kesedihan yang tadi melanda hati mereka tidak pernah terjadi…
***
“Miro, kamu tahu mitos benteng yang ada di depan kamu sekarang, tidak?” tanya Fresha. Fresha dan Miro kini tengah berada di depan gerbang Tafashi. Miro telah tiga hari berada di kota tersebut dan selama tiga hari, mereka berdua telah menjadi teman akrab. Dan tiap sore, Fresha pasti mengajak Miro pergi ke luar untuk memandangi benteng. Begitu juga sekarang.
Miro hanya terdiam. Ia hanya memandang bangunan di hadapannya itu dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Dan diamnya Miro diartikan sebagai ungkapan ‘tidak tahu’ oleh Fresha. Fresha berujar, “Benteng ini punya mitos. Dua orang, pria dan wanita yang bertemu di benteng ini tapi kemudian berpisah di depan benteng ini juga, bakalan dipertemukan kembali di depan benteng ini juga dalam keadaan saling mencinta. Dan gak bakalan terpisahkan sampai kapan pun juga.”
Lagi – lagi Miro hanya diam. Ia hanya memandang bangunan di depannya itu tanpa sedikitpun menoleh ke Fresha. Sementara itu, Fresha terus melanjutkan ceritanya. “Mamaku yang cerita. Dan semenjak saat itu, aku kepengen banget mewujudkan mitos itu. Dan sebentar lagi aku yakin, aku bakalan bisa ngewujudin hal itu.”
Mendengar hal itu, Miro spontan berpaling. Matanya yang dari tadi hanya menatap datar, kini berubah antusias. Ia mulai membuka mulutnya. “Maksud kamu apa?”
Fresha menghela nafas. “Waktu kecil, kira – kira umur tujuh tahun, aku pernah ketemu ama seorang anak laki-laki. Dia itu penghuni baru di kompleks ini, tapi dia cuman tinggal selama tiga hari. Kami berdua ketemu di sini dan bermain di sini. Bahkan waktu berpisah, kami juga berada di benteng ini. Makanya aku yakin bisa ngewujudin mitos itu. Emang sih, sebelumnya aku pernah cerita ke dia tentang keinginanku itu. Mungkin itu salah satu alasan dia gak sedih waktu berpisah sama aku.”
“Terus kamu tahu siapa dia?” tanya Miro antusias. Fresha menggeleng. “Gak. Dia sendiri gak tahu namaku. Aku manggil dia itu Prince Pink, kalau dia manggil aku dengan sebutan Sakura. Dia manggil aku Sakura karena katanya kulit aku ini mirip sama warna daun Sakura. Tapi aku lupa kenapa aku manggil dia Prince Pink. Yang jelas kami gak pernah tahu nama kami masing – masing. Bahkan di saat dia mau pergi ke Jerman, kami gak kepikiran untuk tahu nama masing – masing.” Setelah berkata demikian, tiba – tiba Fresha terhenyak. Ia berpaling ke arah Miro. Matanya menatap orang yang ada di hadapannya itu seakan menyadari sesuatu. Miro mengernyitkan dahi. “Ada apa?” tanyanya. Bibir Fresha perlahan terbuka. “Ng… kamu kalau gak salah pindah dari Jerman, kan?” tanya Fresha agak ragu. Miro mengangguk sambil tetap melihat Fresha dengan dahi berkernyit. “Apa kamu pernah…”
Belum sempat Fresha menyelesaikan ucapannya, tiba – tiba sebuah suara terdengar, memutuskan omongan Fresha. suara itu memanggil, “Miro… masuk!” dan kedengarannya orang yang memanggil Miro itu adalah wanita.
Fresha dan Miro kemudian melihat ke arah orang yang memanggil tersebut. Tampak seorang wanita separuh baya tengah menanti dengan senyum sambil melambaikan tangannya dari depan pagar rumah Miro. Sepertinya ibu Miro yang ingin mengajak anaknya masuk. Miro kemudian menatap Fresha, tersenyum, dan berkata, “Fresh, aku masuk dulu, ya. Besok kita lanjutin lagi.” Wajah Miro kembali merona merah-jambu.
Dengan kedua tongkatnya, Miro berjalan ke arah wanita separuh baya itu dan masuk ke dalam. Wanita itu kemudian tersenyum pada Fresha dan juga masuk ke dalam. Sepeniggal mereka berdua, Fresha hanya bisa menghela nafas. Ia kemudian menatap Tafashi dengan tidak bergairah dan berbalik pergi.
Sementara itu, seorang lelaki yang kini tengah berada pada teras rumahnya bersama seorang wanita separuh baya dengan segelas susu, membelalakkan matanya. Dan dengan tergesa – gesa mengambil dua buah tongkatnya dan mulai berlari menuju luar rumah. Wanita separuh baya itu langsung berdiri dan menahannya. Lelaki itu bersikeras hingga berusaha melepaskan diri. Akan tetapi wanita itu tetap menahannya dan mengajaknya masuk. Lelaki itu hanya bisa menurut, sambil kemudian menatap bangunan di samping rumahnya itu dengan sendu saat masuk…

***
Sakura,
Aku menemukanmu. Ya, aku sudah menemukanmu. Hhh… rasanya tidak percaya aku bisa bertemu denganmu secepat ini. Aku begitu bahagia. Tapi ada satu hal yang kusesalkan, dalam dua pertemuan yang kita jalani, aku selalu saja terlambat menyadari sesuatu. Saat pertama kali kita bertemu, aku baru menyadari kalau kamu adalah Sakuraku ketika aku telah menapakkan kaki ke dalam rumah. Dan yang kedua, aku baru mengetahui apa yang akan kau katakan pada saat aku telah berada di teras rumahku. Dan ketika aku hendak memberitahumu, pasti selalu ada halangan.
Dan tahu tidak alasanmu memanggilku dengan sebutan Prince Pink? Karena ketika tersenyum pipiku langsung merona merah-jambu alias pink. Tapi kenapa kamu gak ingat?
Hhh… apa arti dari semua ini?
Miro

Prince Pink,
Entah kenapa belakangan ini aku merasa kalau kamu ada di dekatku. Aku tidak mengerti. Padahal sepertinya kamu belum, pernah kembali ke sini. Dan ada satu hal yang mengganjal pikiranku saat ini, aku seperti merasakan kehadiranmu saat berada bersama Miro.
Aku merasa ada satu kesamaan di antara kalian. Bukan hanya karena dia juga sempat tinggal di negara yang sama denganmu, tapi juga ada hal lain. Saat aku melihat senyumannya disertai dengan rona merah-jambu di pipinya, aku teringat akan dirimu. Aku jadi bertanya – tanya, apakah dirimu adalah dia?
Fresha
***
Sudah seminggu ini Fresha dan Miro tidak pernah bertemu. Ini dikarenakan Fresha tengah sibuk belajar untuk mengikuti ujian tengah semester sekolah. Jadi untuk sementara waktu, Fresha tidak diperkenankan keluar oleh ibunya. Makanya selain tidak bertemu dengan Miro, ia juga tidak pernah lagi melihat Tafashi. Dan juga pertanyaan yang mengganjal di pikirannya itu belum sempat ia tanyakan pada Miro. Pertanyaan yang berhubungan dengan masa lalunya.
Dan akhirnya, tepat pada hari Selasa, ujian semester telah berakhir. Fresha bisa keluar menghirup udara segar setelah seminggu hanya berkutat dengan buku, buku, dan buku. Dan ia memutuskan untuk pergi ke rumah Miro. Ya, ke rumahnya. bukan ke samping rumahnya.
Di depan pintu gerbang rumah tersebut, Fresha disambut hangat oleh ibu Miro. Akan tetapi sayangnya, Miro tidak berada dalam rumah. Ia tengah pergi bersama kakaknya untuk mendaftar di sekolah luar biasa di kota tersebut. Fresha disuruh menunggu Miro di ruang keluarga. Ya ampun, mamanya itu baik sekali. Fresha bukan keluarga, tapi sudah langsung diperbolehkan masuk ke sana. Wah, Miro pasti senang banget.
Mama Miro kemudian meninggalkan Fresha sendiri karena masih harus memasak di dapur. Sepeninggalnya, Fresha langsung memandang sekelilingnya tanpa henti. Akan tetapi, ketika ia melihat sebuah pigura berukiran kayu yang berdiri di atas sebuah meja kaca kecil di sudut ruangan tersebut, pandangan matanya berhenti. Ia berjalan ke arah meja tersebut dan mengambil pigura tersebut. Tampak gambar seorang anak lelaki yang kira – kira berumur tujuh tahun tengah tersenyum dengan rona merah di pipi. Anak tersebut sangat ia kenal sepertinya. Fresha langsung memegang dahinya, mencoba mengingat akan anak tersebut. Dan tiba – tiba ia tersentak. Dan tanpa diduga, setitik air keluar dari mata kanannya, diikuti dengan titik air berikutnya. Fresha langsung terhempas ke atas sofa sambil memeluk foto tersebut. Hingga akhirnya…
“Ada apa?” sebuah suara bertanya, membuat Fresha mengusap air matanya dan berpaling ke arah sumber suara. Tampak olehnya sesosok lelaki dengan kedua tongkat menopangnya ditambah dengan wajah yang agak menegang. “Kenapa kamu menangis?”
Fresha memandang lelaki tersebut, berdiri, kemudian menangis sambil memegang foto tersebut, “Aku ingat! Aku ingat semua! Aku ingat kenapa aku menyebut anak lelaki di foto ini dengan sebutan Prince Pink. Aku tahu semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikiranku untuk kamu. Dan aku tahu siapa Prince Pink-ku. Dia itu kamu! Iya, kan, Miro?” Miro hanya bisa terdiam. Fresha melanjutkan ucapannya. “Kenapa kamu gak bilang kalau orang yang aku cari – cari itu kamu? Kamu udah dengar cerita aku, dengar cerita tentang kerinduan aku sama Pink, tapi kenapa kamu gak mau ngasih tahu aku? Kenapa kamu tega ngebiarin aku nunggu padahal orang yang aku cari itu ada di dekat aku? Kenapa?”
Miro menghela nafas. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Kemudian ia berkata, “Jujur, sejak awal kita bertemu, aku udah tahu kalau kamu itu Sakuraku. Tapi aku sadar baru di saat aku hendak aku masuk. Dan aku semakin yakin kalau kamu itu Sakuraku, sejak kamu menceritakan keinginan kamu tentang mitos itu dan penantian kamu akan diriku. Tapi saat itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Ah… pokoknya sulit untuk dijelaskan.” Miro pun akhirnya berhenti bicara. Sesaat suasana hening, yang terdengar hanyalah sedu sedan Fresha yang terus memeluk foto tersebut. Hingga kemudian Miro melanjutkan, “Lagipula aku takut kamu gak bakal menerimaku dengan keadaanku yang sekarang ini. Aku cacat, aku gak sempurna dan jauh dari impian kamu. Makanya aku jadi ragu untuk jujur ke kamu.”
“Bodoh!”seru Fresha. “Kalau aku cuman mentingin hal itu, gak bakal mungkin aku mau teman ama kamu, kan? Lagian aku gak sejahat itu. Aku tuh selalu nerima orang apa adanya, apalagi orang yang aku yakin bakal jadi teman hidup aku. Bodoh!!!”
Miro hanya diam, Fresha sendiri hanya tahu menangis. Keheningan kembali menjalar di antara mereka. Akhirnya, Fresha memutuskan untuk berlari. Saat itu Miro mengira Fresha akan keluar, tapi ternyata… Fresha menghempaskan tubuhnya ke tubuh Miro dan melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Miro. Miro terbelalak. Fresha menangis tertahan. “Aku gak bakal mungkin gak menerima kamu… orang yang bakal menjadi teman hidupku. Gak bakal mungkin.”
Miro membiarkan Fresha menangis di tengah pelukannya terhadap dirinya tanpa berbicara apa – apa. “Bicara Miro, bicara. Jangan diam aja!” seru Fresha.
Miro menghela nafas. “Apa lagi yang harus aku bilang?” tanyanya, melepaskan pelukan Fresha dan menghapus air yang jatuh menggenangi wajah gadis di depannya. Lalu ia tersenyum—dengan rona merah-jambu di pipi tentunya—dan berkata, “Oh ya, ada tiga kata yang harus aku bilang ke kamu. Aku… sayang… kamu.”
Fresha tersenyum dan kembali melingkarkan tangannya ke pinggang Miro. Miro melepaskan salah satu tongkatnya dan memeluk Fresha dengan sebelah tangannya.
Dari jendela, tampak sebuah benteng berwarna merah, yang tampak semakin merah karena sinar mentari yang semakin riang megoleskan selai keemasannya, berdiri kokoh dan tegap. Seakan bangga menjadi alasan sekaligus saksi cinta dua manusia tersebut. Dan waktu yang terus berputar, menemani mereka menjalani lika-liku kisah yang telah terwujud, setelah sekian lama membiarkan mereka terlarut dalam penantian…
***


Prince Pink,
Terima kasih telah membantuku mewujudkannya…
Aku menyayangimu
Fresha
Sakura,
Senang melihatmu bahagia…
Aku menyayangimu
Miro

No comments: