Monday, July 2, 2007

Lilac

Gak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa mengalahkan keunikan kami.
Gak satu pun…
Sekalipun Eiffel, Pissa, atau hal lain…
Gak ada yang bisa…
***
Lilac menatap kedua sobatnya sedari kecil dengan mata berkaca dan bibir bergetar menahan tangis. Tubuhnya yang terbaring di atas tempat tidur membuatnya tidak leluasa bergerak, setidaknya mengganti posisinya untuk terduduk. Rose dan Igo—kedua sobatnya—juga tak kalah hebatnya dengan Lilac menahan diri untuk tidak menangis. Bahkan Rose sampai menggigit bibirnya keras-keras supaya tidak menangis. Mereka berdua mengenggam masing-masing satu tangan Lilac. Perlahan, Lilac buka suara, “Kalian tahu gak kalau rose dicampur indigo itu bakal jadi warna apa?”
Baik Rose maupun Igo hanya bisa terdiam. Bahkan Igo kini menunduk, tak sanggup untuk menatap wajah pucat Lilac yang mencoba melukiskan senyum untuk dirinya dan Rose. Rose juga tak kuasa lagi menahan laju air yang mengalir dari kedua bola matanya menyaksikan senyum tulus Lilac. Ia makin erat menggenggam tangan Lilac.
“Hey, kenapa diam aja?” tanya Lilac. “Jawab dong! Ayo…”
“Warnanya… lilac.” Jawab Igo. Lilac tersenyum ke arah Igo. “Makasih… kamu benar.” Lalu ia berpaling ke arah Rose dan bertanya, “Kamu tahu enggak apa yang membuat kita unik dari seluruh hal di dunia ini?”
Rose, dengan sebelah tangannya yang hampa, menghapus airmatanya. Dan dengan terisak menjawab, “Yang… yang… membuat kita u-nik, karena kita berwarna… aku pink pucat, Igo biru, dan kamu… ungu. Ungu yang muda… banget!”
Lilac kembali tersenyum. Matanya menatap Rose dengan lembut dan berkata, “Benar, tapi ada yang perlu diganti. Aku… bukan ungu muda. Tapi ungu pucat. Lemah, kayak lavender…”
“Sori, Lil!”
“Gak usah minta maaf. Gak ada yang perlu dimaafkan. Gak ada yang salah.”Lilac menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. “Tapi, aku gak bakal maafin kalian kalau kalian gak mau menghasilkan satu lilac baru. Lilac yang benar-benar segar, yang muda. Dan aku harap itu bakal kalian lakukan suatu saat untuk aku. Kalian… mau kan?”
Igo makin menundukkan kepalanya. Sementara Rose semakin menjulurkan isakan yang sama sekali tidak bisa ia hentikan. Keduanya sama sekali tidak mau menolak atau menerima permintaan gadis di hadapan mereka itu. Hal itu membuat Lilac harus sekali lagi bertanya. Dan kali ini dengan intonasi yang lebih tegas. Hingga airmata yang sedari tadi ia bendung, tak kuasa terjun dengan bebas dari kedua bola matanya. “Kalian mau kan, bikin satu lilac baru? Untuk aku?”
Igo dan Rose, tanpa mereka sadari, secara bersamaan menggenggam erat tangan Lilac. Dan tanpa direncanakan juga, keduanya secara bersamaan berkata, “Iya.” Keduanya saling bertatapan mengetahui hal tersebut, namun tak berapa lama kemudian mereka memalingkan wajah. Lilac tersenyum melihatnya.
“Kalian berdua memang selalu bisa bikin aku tersenyum dalam keadaan apapun. Makasih… Igo. Makasih Rose.” Lilac menghela nafas panjang dan melanjutkan, “Sekarang, aku mau bobo siang. Kalian temenin aku, ya. Tetap pegang tangan aku, biar aku ngerasa nyaman. Oke?”
Dan perlahan, Lilac menutup mata. Dan sesuai permintaannya tadi, Igo dan Rose memegang tangan Rose dengan erat. Sedetik, dua detik, pegangan Lilac masih terasa kencang. Hingga kemudian, pegangan itu mengendur seiring bergantinya waktu. Tanpa mereka sadari bahwa saat itu merupakan saat terakhir mereka bersama. Saat terakhir Igo dan Rose bisa menggenggam tangan Lilac…
***
“Aku suka sama Igo.” Ujar Lilac sambil tersenyum.
Bagi Lilac, mungkin itu merupakan hal teristimewa yang pernah terjadi dalam hidupnya. Terbukti dengan binar-binar yang memenuhi kedua bola matanya itu. Namun, kabar itu bagaikan sebilah tombak yang menusuk hati Rose. Berita tersebut sungguh menyakitkannya.
“Aku gak tahu sejak kapan aku suka sama dia. Tapi yang jelas, aku itu kayak kehilangan kendali atas diri aku. Aku gak bisa tahan kalau gak ngelihat dia satu hari aja, aku gak bisa nahan diri untuk gak senyum sendiri, aku gak bisa… semuanya lah! Pokoknya kayak kehilangan sekrup gitu. Perasaan aku jadi lepas, dan mengarah ke dia.” Jelas Lilac panjang lebar. Rose hanya diam tanpa memberikan tanggapan sedikitpun. Lilac menatap Rose dengan kening berkerut. Sesaat kemudian, matanya menunjukkan adanya suatu hal yang sangat ingin ia ketahui. Dengan segera, ia bertanya, “Rose, kamu… sukaa… Igo juga ya?” Rose terbelalak. Matanya langsung liar berpaling ke arah lain, dengan bibir yang mendadak berubah pucat, bergetar dan sulit dihentikan. Dengan sedikit paksaan ia tersenyum dan menjawab, “Gak… gak kok. Gak mungkinlah aku suka sama Indigo nan sok itu. Kerjanya cuman nyari masalah doang, gak pernah mau ngalah lagi sama aku. Udah gitu sering banget lagi bilang warna pink itu jelek. Emangnya warna biru udah bagus banget apa?”. Rose langsung mengatupkan bibir. Ia sadar sedari ia berbicara suaranya terdengar bergetar. Namun sepertinya Lilac tidak menyadarinya. Ia malah terus berucap, “Gak juga, kok! Lagian kita ini bisa berteman karena kita ini berwarna. Kamu pink kayak nama kamu Rose, Igo biru, sama kayak namanya Indigo, dan aku Lilac, gadis ungu yang mudaaaa banget! Iya, kan?”
“Dan rose kalau dicampur indigo jadi Lilac, iya kan?” sambung Rose dengan gugup. Lilac tersenyum dan mengangguk.
“Tapi…” tiba-tiba raut wajah Lilac berubah. Bibirnya kini berubah pucat. Matanya mengarah ke bawah dan kemudian berbicara dengan penuh keraguan. “… gimana perasaan dia ke aku?”
Rose tersenyum. Kali ini bukan senyum jengah yang beberapa waktu tadi ia perlihatkan. Sambil mengelus pundak Lilac, ia berkata, “Udahlah, jangan langsung patah semangat gitu. Lagian kamu gak bakalan tahu perasaan dia ke kamu kalau kamu belum ungkapin.”
“Memang sih! Ah, iya! Ungkapin. Aku bakal ungkapin perasaan aku ini ke dia. Menurut kamu gimana?” tanya Lilac dengan mata berbinar. Kontras dengan ekspresi sebelumnya.
“Itu terserah kamu…”
“Oke, kalau gitu aku bakal nyoba. Tapi Rose, kamu jangan kasih tahu Igo ya, soal kelainan yang aku derita. Aku gak mau dia jadi khawatir…”
Rose mengangguk.
***
“Aku suka kamu…”
Lilac terhenyak. Kata-kata tersebut bak petir yang menggelegar di telinganya. Kata-kata yang ia harapkan akan keluar dari bibir orang yang dia sayangi hanya untuknya, ternyata diberi pada orang lain. Igo, menyatakan rasa sayangnya bukan pada Lilac. Melainkan pada Rose. Dan hal itu membuatnya tak urung menahan rintik-rintik air untuk turun perlahan.
Dengan matanya yang berkaca, ia melihat ekspresi Rose yang tak kalah kaget. Rose bahkan sampai memalingkan wajahnya untuk beberapa waktu dari Igo. Baru setelah Igo memegang dagunya dan mengangkat wajahnya, ia terpaksa memberanikan diri memandang lelaki tersebut. Igo kembali berkata, “Dan aku yakin, kamu juga suka sama aku.”
“Sok tahu! kalau aku suka sama kamu, aku gak mungkin sering ngehina kamu. Ge-eR!” ujar Rose. Ada getaran dalam nada bicaranya. Ia sendiri mengesalkannya dalam hati. Kenapa belakangan ini dia jadi sering gugup.
“Tapi aku bisa baca di mata kamu. Aku sering ngelihat kamu curi pandang ke arah aku kalau kamu lagi bicara sama Lilac. Aku juga sering gitu. Dan kamu munafik kalau kamu bilang kamu gak menyadarinya.” Igo menatap Rose semakin lekat. Rose mengepal erat tangannya seraya menundukkan kembali kepalanya. Tak lama kemudian ia angkat kepalanya dengan bulir-bulir air yang turun dari matanya dan berkata, “Iya. Kamu benar. Aku memang suka sama kamu…”
Lilac, yang mendengar percakapan itu dari balik pintu kelas, dua kali terhenyak. Tiba-tiba saja, dunia serasa bergoyang. Kepalanya berkunang-kunang dan tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia mencoba menahan tubuhnya dengan menyentuh bagian sendi pintu. Samar-samar ia mendengar Rose berbicara lagi. “Tapi ada seorang lain yang lebih menyukai kamu. Dan aku rasa dia lebih pantas bersama kamu.”
“Tapi aku gak peduli!” tandas Igo. “Yang penting perasaan kamu dan aku. Aku gak perduli sama perasaan orang ketiga itu”
“Tapi gimana kalau orang ketiga itu Lilac! Dia suka sama kamu. Dia suka sama kebaikan kamu. Dan kamu gak bisa seenaknya mengabaikan perasaan dia.”
“Iya, tapi aku bisa jelasin dia tentang perasaan aku. Dan aku yakin dia pasti bakal ngerti.”
Terdengar desahan nafas Rose sebelum ia berkata, “Dengar ya,…”
Dan kemudian… jantung Lilac tanpa ia inginkan berdetak lebih cepat diiringi rasa sakit. Ia memegang dadanya walaupun itu tak bisa menghilangkan rasa sakitnya. Dan perlahan, darah keluar dari hidungnya. Ia mencoba berpegangan pada pintu tersebut hingga akhirnya…
BRUK!!!
Tubuhnya terjatuh, menabrak pintu hingga terbuka lebih lebar.
Perlahan, kelopak mata Lilac menutup. Dunia menjadi gelap.
Igo dan Rose keluar karena mendengar suara dentuman itu. Igo segera mengangkat tubuh pucat Lilac dan membawanya ke mobil menuju rumah sakit, diiringi isakan sesal Rose.
Sebelum mengalami sesak dan terjatuh, Lilac samar-samar mendengar perkataan Rose yang jelas lebih memberi kejutan hebat baginya. Karena dengan mengatakannya, itu sama saja dengan mengingkari janji Rose padanya.
“…Lilac kena kelainan katup aorta dan dia gak boleh stress atau terkejut karena sesuatu yang gak mengenakkan kayak begini. Kamu harus mengerti itu. Sori, aku gak bisa nerima kamu…”
***
“Kenapa kamu gak pernah ngasih tahu aku soal penyakit Lilac?” tanya Igo, seusai pemakaman Lilac. Rose, dengan payung hitam menutupi kepalanya, tersenyum kecut dan berkata, “Karena dia gak mau kamu khawatir. Itu semua dia lakuin buat kamu…”
Igo mendesah. “Kenapa dia begitu mikirin perasaan aku? Padahal aku sendiri gak pernah peduli. Aku benar-benar jahat…”
Rose menyentuh bahu Igo dengan lembut. Igo hanya bisa memandang pemilik tangan tersebut dengan wajah yang memerah, menahan tangis. Rose mencoba memnberikan penghiburan. “Gak usah nyalahin diri kamu. Semua itu terjadi di luar kendali kita, kan? Lagipula kan Lilac udah bilang kalau gak ada yang perlu dimaafin. Dan kalaupun ada yang harus disalahin, itu cuman satu orang. Aku. Karena aku udah nyakitin dia dengan ngambil perasaan kamu…”
“Kok jadi gantian sih?” tukas Igo sambil tertawa kecil. Sambil merangkul pundak Rose, dia berkata, “Mendingan kita turutin kata Lilac. Bikin Lilac yang baru buat dia. Tapi… suatu saat. Oke?” Rose mengangguk dengan semangat. “Iya. Dengan pink yang dominan tentunya, iya kan?”
“Ye… siapa bilang? Biru dong! Entar kalau pink yang dominan, entar jadi violet.”
“Pokoknya pink…”
“Biru…”
“Pink…
“Biru…”
“Dek…!” tiba-tiba suatu suara parau menghentikan perdebatan mereka berdua. Mereka berpaling ke belakang dan tampaklah seonggok tubuh yang dibalut dengan pakaian kumal dan kumis putih yang tipis mengelilingi mulutnya. Pak tua itu melanjutkan, “Jangan ribut! Ini kuburan… entar yang ziarah pada terganggu, dek!” sebelum Igo atau Rose sempat mengucapkan minta maaf, Pak tua itu sudah berbalik dan pergi. Igo dan Rose saling bertatapan, tersenyum, lalu pergi dengan kedua tangan saling bergenggaman.
“Semuanya harus seimbang. Biar bisa jadi diriku...” samar-samar terdengar bisikan tersebut di telinga mereka berdua.






PS :
- Rose = pink pucat
- Indigo= biru donker
- sLilac = ungu muda

No comments: